Friday 26 August 2011

Mengubur Keangkuhan, Menanam Kerendahhatian

Khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1430 H. di KBRI Paris, Prancis
Ahad, 20 September 2009

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Allahu akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd
Kaum muslimin dan muslimat yang tengah dalam kedamaian penuh kesyukuran,

Pada hari ini, 1 Syawwal, semua umat Islam di dunia tengah bergembira merayakan masuknya hari kemenangan, yaitu hari kelahiran kembali jiwa yang suci ini (îd al-fitr). Semua orang bergembira, tak terkecuali. Kegembiraan itu dirayakan oleh semua lapisan masyarakat muslim di mana saja. Tidak ada satu orang pun yang tidak boleh tidak merayakan hari nan penuh kebahagian bagi umat Islam ini. Hingga suatu ketika Rasulullah terlambat datang untuk salat Idul Fitri karena di tengah jalan ia menjumpai seorang bocah yatim-piatu kumuh dan lusuh yang menangis di tengah jalan. Lalu, Rasulullah bawa pulang untuk dimandikan dan dipakaikan dengan pakaian yang bagus dan diberi wewangian, hingga anak ini gembira bukan kepalang.


Kebahagian dan kegembiraan itu dicerminkan dan dituangkan dalam bentuk berkasihsayang sesama umat Islam tanpa membedakan status sosial, warna kulit, ras, suka, dan etnis. Hal ini menandakan bahwa mereka yang merayakan idul fitri adalah mereka yang telah berhasil dan menang melawan keangkuhan, kesombongan, ketakaburan, dan keakuan. Tanda dari kemenangan ini bukan saja karena kemampuan diri melaksanakan perintah Allah swt. berupa menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan, tetapi juga membayar zakat fitrah dan mal yang merupakan ungkapan kecintaan dan kepedulian kepada kaum duafa dan mustadafin.

Puasa yang kita jalani selama satu bulan penuh ini adalah “sekolah jiwa”. Puasa inilah yang menghancurkan sifat keangkuhan dan keakuan yang ada dalam jiwa kita. Jika kita lihat ke belakang, selama 11 bulan yang lalu, kehidupan kita, mungkin, dipenuhi oleh sikap angkuh, mau menang sendiri, tidak peduli dengan orang lain, menganggap remeh orang lain, merasa diri paling agung, dan haus pujian. Kita biarkan keangkuhan dan keakuan terus tumbuh berkembang sehat di dalam tubuh. Akhirnya, sifat ini menjadi sumber perlambatan bagi keindahan hidup. Nah, puasa dan zakat yang kita telah lakukan pada Ramadan kali inilah yang dapat mengubur “sang aku” di dalam diri dan jiwa kita. Alangkah lelahnya jiwa ini, jika hanya mengikuti keakuan dan keangkuhan. Terlalu berat jika kesombongan dipikul oleh diri ini. Karena, sejatinya, keangkuhan hanyalah milik Allah swt. Rasulullah saw bersabda:

«الْعِزُّ إِزَارُهُ. وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَاؤُهُ. فَمَنْ يُنَازِعُنِي عَذَّبْتُه

“Kemulian adalah kain Allah, dan keangkuhan adalah selendang Allah, barang siapa yang mencopot selendangku, maka akan aku azab.” (HR. Muslim dari Abu Hurayrah, Juz 16, hlm. 148, hadis no. 6632).

Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah bersabda (riwayat Abu Hurayrah):

« الكبرياء ردائي والعظمة إزاري فمن نازعني واحدا منهما ألقيته في جهنم»

Kesombongan adalah selendangku dan kebesaran adalah kainku, barang siapa yang memakai salah satu dari keduanya, maka aku akan lemparkan dirinya ke neraka Jahannam.

Artinya, keangkuhan adalah milik Allah, barang siapa yang memakainya, maka Allah akan mengazabnya. Siksa di akhirat adalah neraka jahanam, Allah swt. Berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS.al-Mukmin/40:60)

Di ayat yang lain, Allah swt. berfirman:

Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu (QS.al-Nahl/16:29)


Ketika keangkuhan, kegengsian, haus pujian dan penghormatan menjadi kepribadian kita, maka alangkah beratnya, karena kita harus bawa ke mana-mana. Kalau kemudian, perjalanan kehidupan terasa sangat berat, itu karena manusia sendiri yang rela menggendong kesombongan dan keangkuhan ke mana-mana. «Jangan engkau busungkan dadamu dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh,» Allah memperingatkan kita di dalam salah satu ayat Alquran. Karena, kita tidak tahu siapa orang yang ada di hadapan kita. Allah akan kasih hidayah kepada siapa saja yang ia hendaki. Ia titipkan berkah kepada orang yang rendah dalam pandangan kita. Ia simpan rahasia petunjuk-Nya pada orang yang kita remehkan. Kita harus lebih berhati-hati dengan sikap laku kita, karena di dalam universitas Ramadan kita diajarkan untuk berbicara hanya yang baik-baik saja atau yang seperlunya.

Allahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil Hamd
Bapak, Ibu, Saudara/i-ku dalam kejernihan pikiran dan kebeningan rasa,

Suatu ketika Rasulullah datang ke Quba (Madinah) dan ia sedang dalam keadaan berpuasa, lalu para sahabat mendatanginya saat berbuka dengan membawa semangkuk susu yang telah dicampur madu di dalamnya, lalu Rasulullah meminumnya dan bertanya: “Apa ini?”, “Susu yang diberi madu wahai Rasul, jawab para sahabat. Kemudian Rasulullah saw. bersabda:

ومن تواضع رفعه الله، ومن تكبر وضعه الله

“Barang siapa yang rendah hati, maka Allah akan angkat dan barang siapa yang angkuh, maka Allah akan hinakan” (Ibn Abî al-Dunyâ, al-Tawadu’ wa al-Khamûl, Bâb al-Tawâdu’, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989).

Pada kesempatan yang lain, Rasulullah saw. bersabda:

من تواضع رفعه الله، ومن تكبر قصمه الله عز وجل،

“Barang siapa berendah diri, Allah akan angkat dan barang siapa yang sombong, Allah akan hancurkan.”


Ingin dihargai dan dihormati adalah hal yang lumrah dan wajar. Tetapi, kalau keinginan dihargai dan dihormati memperbudak kita, sehingga kita sombong, ini yang berbahaya. Mereka yang diperbudak dengan kepintaran, kecantikan, kegantengan, kekayaan, kemiskinan, ketenaran, dan kedudukan adalah orang-orang yang diperkuda oleh keangkuhan dan keakuan. Tak ada ketenangan dalam hidup. Tidak ada kedamaian yang terpancar dari air muka orang angkuh dan sombong. Jiwanya selalu menginginkan apa yang belum dimilikinya. Matanya ingin menghendaki apa yang orang lain punyai. Resah, gelisah, dan tidak tenang selalu melanda orang-orang pemilik hati yang angkuh. Orang yang merasa tidak puas terhadap apa yang dimiliki dan selalu ingin mengejar apa yang dimiliki orang lain adalah salah satu nikmat iman yang telah dicabut dari hati.

Betapa sempitnya pikiran kita, betapa pengapnya hati kita, jika kesuksesan orang lain, jika kekayaan orang lain selalu dilihat dengan mata iri dan dengki yang muncul karena keakuan yang akut. Hati tidak akan pernah tenteram dan tenang, jika kita menginginkan apa yang orang lain miliki. Akibatnya timbul sifat rakus. Dengan kerakusan, kita akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang kita ingini. Kita telah membuat neraka bagi diri sendiri kita. Sesungguhnya yang memasukkan ke dalam neraka bukanlah Allah, tetapi karena perbuatan kita sendiri.

Qatadah, seorang Tabiin, berkata:

« من أعطي مالا أو جمالا وثيابا وعلما ثم لم يتواضع كان عليه وبالا يوم القيامة»

“Barang siapa yang diberi kekayaan atau kecantikan-kegantengan atau pakaian (rumah-mobil) atau ilmu, tetapi tidak rendah hati, maka akan berbalik melaknat kepadanya dan akan ada siksa di hari kiamat.”

Suatu ketika Muadz Ibn Jabal bertanya kepada Rasulullah “Apakah angkuh dan sombong itu adalah mereka yang memakai pakaian yang bagus, mengendarai mobil yang bagus, dan makan yang enak dengan para teman dan kerabatnya?”. Rasulullah menjawab “Bukan, tetapi:

« الكبر أن تسفه الحق وتغمص المؤمن،

“Sombong itu adakah menolak kebenaran dan merendahkan orang lainnya (mukmin).”


Betapa banyak kebenaran yang datang kepada kita, hanya karena gengsi kita menolaknya. Kita tahu bahwa yang haram adalah haram, tetapi berupaya mencari celah menghalalkannya dengan segala daya upaya dan cara. Betapa diri ini selalu menganggap orang lain rendah dan remeh, hanya karena keakuan dan keangkuhan. Kita hina orang lain dengan cibiran mulut, kerlingan mata, detak hati, dan gibah hanya karena kita tidak bisa sepertinya. Terlalu sering kita menjatuhkan orang lain agar diri ini tampak lebih hebat darinya. Inilah ketakaburan yang akan menjatuhkan diri kita.

Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd
Saudaraku yang senantiasi dalam lindungan kasih dan berkat Allah,

Ramadan yang baru saja kita lalui semoga telah mampu mengubur dalam-dalam keangkuhan dan keakuan itu. Dengan idul fitri kali ini, semoga kita dapat menanam rasa rendah hati (tawaduk). Orang yang merayakan Idul Fitri adalah bukan mereka yang menggunakan pakaian baru dan memiliki mobil baru atau rumah baru, tetapi mereka yang ketaatannya bertambah. Nah, orang yang beridul fitri pada hari ini adalah mereka yang menanam kerendahhatian di dalam hatinya sehingga akan menjadi pribadi yang mempesona. Agar kaki sang hidup ini tidak goyah, maka mari kita tanamkan rasa tawaduk di hati kita. Karena hanya dengan rendah hati yang akan mencemerlangkan diri kita.

Lihatlah akar pohon. Ia tertanam ke dalam tanah dan merupakan sumber segala-galanya bagi pohon. Akar bekerja keras mencari air untuk menghidupi batang dan ranting, daun dan bunga. Ia tidak pernah mengeluh dan protes karena tidak terlihat. Jasanya tidak diketahui orang. Akar tidak pernah menyombongkan diri dengan tampil ke permukaan. Berkat akarlah, pohon dapat menampilkan daunnya yang indah, bunganya yang menawan. Akar memiliki sifat rendah hati, sehingga semuanya berjalan dengan baik. Semakin dalam akar, semakin kukuh pohon. Semakin dangkal akar, semakin cepat tercerabut. Begitulah perumpamaan orang yang rendah hati. Semakin dalam rendah hatinya, semakin Allah akan angkat derajatnya, semakin minim cadangan rendah hatinya, semakin Allah akan hinakan dirinya.

Suatu ketika Umar Ibn Khattab berkata:

العبد إذا تواضع لله عز وجل رفع الله حكمته،

“Hamba yang tawaduk, merendahkan hati, untuk Allah akan Allah angkat hikmahnya (ilmunya, derajatnya, namanya, kemuliaannya)”.

Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd
Bapak/Ibu, saudaraku terkasih yang saling memuliakan,

Puasa yang baru kita lalui adalah ibadah istimewa karena Allah sendiri yang akan membalasnya langsung. “Kullu ‘amalibni âdama lahu illas shawmu, fa’na ajzi bih, setiap perbuatan anak Adam bagi dirinya, kecuali puasa, ia adalah milikku, aku sendirilah yang akan membalasnya.” Tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah kita berpuasa atau tidak. Ini menyiratkan bahwa kita diperlukan kerendahhatian dalam menjalankan puasa agar kita tidak riya, ujub, takabur dengan puasa yang kita jalankan, karena bisa jadi puasa kita tidak berarti apa-apa di hadapan Allah.

Lalu bagaimanakah rendah hati (tawaduk) itu? Fudayl Ibn Iyadl, seorang sufi agung, pernah ditanya suatu ketika “Apakah tawaduk, rendah hati itu?. Fudayl menjawab:

« التواضع أن تخضع، للحق وتنقاد له، ولو سمعته من صبي قبلته منه، ولو سمعته من أجهل الناس قبلته منه» .

“Rendah hati (tawaduk) adalah engkau patuh kepada kebenaran dengan mengikutinya, walaupun kamu mendengarnya dari anak kecil, tetapi kamu menerimanya, dan walaupun kamu mendengarnya dari manusia yang paling bodoh sekali pun kamu menerimanya.”


Tawaduk, rendah hati, di sini berarti ada suatu proses belajar terus-menerus (long life education/minal mahdi ilal lahdi). Menerima kebenaran dari mana pun datangnya. Selalu terbersit di dalam hati untuk terus berkata “Aku harus belajar”. Ketika orang berhenti belajar, maka selesailah sudah perjalanan kehidupannya.

Yahya Ibn Kasir, seorang alim dan sufi, berkata:

« رأس التواضع ثلاث أن ترضى بالدون من شرف المجلس، وأن تبدأ من لقيته بالسلام، وأن تكره المدحة والسمعة والرياء بالبر»
Inti rendah hati (tawaduk) ada tiga:

Pertama, engkau rela (rida) tanpa apa pun di majelis yang mulia. Artinya, sulit sekali ketika datang ke suatu tempat tanpa disapa dan dihargai. Sang aku selalu menuntut untuk dihargai dan dihormati. Namun, diterangi dengan kerendahhatian, maka langkah kedamaian dan kesucian menyertai kita. Disapa atau pun tidak sama saja.

Kedua, engkau memulai menyapa (memberi salam) kepada orang yang kamu jumpai. Memang susah rasanya, ketika bertemu seseorang kita yang lebih dulu menyapa. Ada keakuan yang tinggi di sana yang menghambat diri untuk beruluk salam. Energi untuk menyapa itu berat sekali. Jika direnungi: apa sulitnya menyapa? Padahal tidak ada risiko menyapa. Urusan orang lain membalas sapaan kita atau tidak, itu di luar kehendak kita. Saking mulianya menyapa ini, Rasulullah bersabda “Menyapalah kalian, maka akan masuk surga dengan selamat, afsyus salâm, tadkhulul jannat bis salam”. Oleh karena itu, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan sapaan, salam, senyuman, dan persahabatan dibandingkan dengan keangkuhan, keakuan, gengsi, cemberut, kemarahan, dan kebencian.

Ketiga, Engkau tidak suka ketika kebaikanmu dipuji, diceritakan ke orang lain, dan diperlihatkan orang lain. Kita juga teramat senang dan gembira kalau banyak dipuji. Ketika hal-hal sederhana seperti ini belum menjadi olahraga batin kita, sulit rasanya rendah hati menjadi selimut hati kita.

Bagi mereka yang tinggal di dekat sungai dan laut, seperti ayah saya yang berasal dari Pekan Baru, Melayu-Riau, yang hidup di pinggir sungai Siak, kehidupan di pinggir sungai/laut membawa ke perenungan yang dalam. Suatu ketika ia berpesan “Lihatlah air laut. Semua air kali dan sungai mengalir ke laut. Ia lebih banyak dari air sungai. Laut menjadi besar, gagah, dan bahkan menakutkan justeru karena laut berani untuk merendah”. Seperti kata Rabindranath Tagore “Kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati.” Dengan rendah hati, tawaduk, hidup kita menjadi sehat. Karena yang sehat, seperti kata Goenawan Muhammad, adalah yang hidup dan tumbuh dan bekerja terus dalam keterbatasan, seperti cinta yang tak diakui. Dari sini kita bisa merayakan apa yang mungkin gagal tapi indah, menyambut apa yang tak tentu, pada tiap detik memberi alasan untuk hidup yang berarti. Hidup hanya sebentar, hiduplah yang berarti.

Dalam kehidupan manapun yang menyelami lapisan-lapisan kerendahhatian secara mengagumkan, dan kemudian berpelukan dengan kehidupan secara penuh penerimaan, inilah awal terbitnya matahari kesadaran di dalam diri. Tidak ada pertanyaan di sana, apa lagi penolakan. Sebutan pintar dan hebat tidak lagi menggoda. Kaya dan terkemuka, juga serupa. Dikasih terimakasih, tidak dikasih juga terimakasih. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus bodoh pun tidak ada masalah. Bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya, dan bukan yang seharusnya, kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus pelayanan bermakna buat pihak lain, tulis Gede Prama. Inilah tawaduk, rendah hati, yang sejati. Jika sudah demikian pekerti kita, maka kita tinggal menanti kehidupan dan kematian dalam puncak prestasi kemulian kita.

Orang yang rendah hati itu sudah nampak dari air mukanya: bersinar, terang, bercahaya. Senang rasanya kita melihat air dan raut muka orang yang rendah hati. Setiap perkataannya tidak dibuat-buat, mengalir seperti permata, bak berlian. Tutur kata yang keluar sederhana, tapi, aduh, indah sekali, mendengarnya itu menyejukkan hati. Setiap perkataannya yang keluar seperti apa yang dipikirkan dan terdetik di dalam hati. Tidak ada maksud dan tujuan untuk meraih kepentingan untuk dirinya. Setiap perbuatannya dilakukan dengan senang dan bahagia, bukan untuk menonjolkan diri, bukan untuk mencari muka. Mengalir saja. Indah sekali perangai orang yang rendah hati itu. Ketika berhubungan dengan orang lain, tidak ada sesuatu yang ingin dicari. Tidak ada kepentingan di dalam hatinya ketika berhubungan dengan orang lain, selain berbuat yang terbaik bagi hamba Allah yang lain. Orang tawaduk membawa lentera ke mana-mana. Orang rendah hati merupakan pribadi yang mengagumkan yang dapat memuliakan orang di sekitarnya. Inilah manifestasi dari takwa yang merupakan tujuan dari puasa yang telah kita jalani sebulan penuh.

الله أكبر بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم. ونفعنى وإيّاكم بتلاوته إنه هو الذكر الحكيم. فاستغفروا الله يغفرلكم إنّه هو البر الرحيم.

No comments: