Friday 26 August 2011

Mengubur Keangkuhan, Menanam Kerendahhatian

Khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1430 H. di KBRI Paris, Prancis
Ahad, 20 September 2009

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Allahu akbar, Allahu akbar wa Lillahil Hamd
Kaum muslimin dan muslimat yang tengah dalam kedamaian penuh kesyukuran,

Pada hari ini, 1 Syawwal, semua umat Islam di dunia tengah bergembira merayakan masuknya hari kemenangan, yaitu hari kelahiran kembali jiwa yang suci ini (îd al-fitr). Semua orang bergembira, tak terkecuali. Kegembiraan itu dirayakan oleh semua lapisan masyarakat muslim di mana saja. Tidak ada satu orang pun yang tidak boleh tidak merayakan hari nan penuh kebahagian bagi umat Islam ini. Hingga suatu ketika Rasulullah terlambat datang untuk salat Idul Fitri karena di tengah jalan ia menjumpai seorang bocah yatim-piatu kumuh dan lusuh yang menangis di tengah jalan. Lalu, Rasulullah bawa pulang untuk dimandikan dan dipakaikan dengan pakaian yang bagus dan diberi wewangian, hingga anak ini gembira bukan kepalang.


Kebahagian dan kegembiraan itu dicerminkan dan dituangkan dalam bentuk berkasihsayang sesama umat Islam tanpa membedakan status sosial, warna kulit, ras, suka, dan etnis. Hal ini menandakan bahwa mereka yang merayakan idul fitri adalah mereka yang telah berhasil dan menang melawan keangkuhan, kesombongan, ketakaburan, dan keakuan. Tanda dari kemenangan ini bukan saja karena kemampuan diri melaksanakan perintah Allah swt. berupa menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan, tetapi juga membayar zakat fitrah dan mal yang merupakan ungkapan kecintaan dan kepedulian kepada kaum duafa dan mustadafin.

Puasa yang kita jalani selama satu bulan penuh ini adalah “sekolah jiwa”. Puasa inilah yang menghancurkan sifat keangkuhan dan keakuan yang ada dalam jiwa kita. Jika kita lihat ke belakang, selama 11 bulan yang lalu, kehidupan kita, mungkin, dipenuhi oleh sikap angkuh, mau menang sendiri, tidak peduli dengan orang lain, menganggap remeh orang lain, merasa diri paling agung, dan haus pujian. Kita biarkan keangkuhan dan keakuan terus tumbuh berkembang sehat di dalam tubuh. Akhirnya, sifat ini menjadi sumber perlambatan bagi keindahan hidup. Nah, puasa dan zakat yang kita telah lakukan pada Ramadan kali inilah yang dapat mengubur “sang aku” di dalam diri dan jiwa kita. Alangkah lelahnya jiwa ini, jika hanya mengikuti keakuan dan keangkuhan. Terlalu berat jika kesombongan dipikul oleh diri ini. Karena, sejatinya, keangkuhan hanyalah milik Allah swt. Rasulullah saw bersabda:

«الْعِزُّ إِزَارُهُ. وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَاؤُهُ. فَمَنْ يُنَازِعُنِي عَذَّبْتُه

“Kemulian adalah kain Allah, dan keangkuhan adalah selendang Allah, barang siapa yang mencopot selendangku, maka akan aku azab.” (HR. Muslim dari Abu Hurayrah, Juz 16, hlm. 148, hadis no. 6632).

Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah bersabda (riwayat Abu Hurayrah):

« الكبرياء ردائي والعظمة إزاري فمن نازعني واحدا منهما ألقيته في جهنم»

Kesombongan adalah selendangku dan kebesaran adalah kainku, barang siapa yang memakai salah satu dari keduanya, maka aku akan lemparkan dirinya ke neraka Jahannam.

Artinya, keangkuhan adalah milik Allah, barang siapa yang memakainya, maka Allah akan mengazabnya. Siksa di akhirat adalah neraka jahanam, Allah swt. Berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS.al-Mukmin/40:60)

Di ayat yang lain, Allah swt. berfirman:

Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu (QS.al-Nahl/16:29)


Ketika keangkuhan, kegengsian, haus pujian dan penghormatan menjadi kepribadian kita, maka alangkah beratnya, karena kita harus bawa ke mana-mana. Kalau kemudian, perjalanan kehidupan terasa sangat berat, itu karena manusia sendiri yang rela menggendong kesombongan dan keangkuhan ke mana-mana. «Jangan engkau busungkan dadamu dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh,» Allah memperingatkan kita di dalam salah satu ayat Alquran. Karena, kita tidak tahu siapa orang yang ada di hadapan kita. Allah akan kasih hidayah kepada siapa saja yang ia hendaki. Ia titipkan berkah kepada orang yang rendah dalam pandangan kita. Ia simpan rahasia petunjuk-Nya pada orang yang kita remehkan. Kita harus lebih berhati-hati dengan sikap laku kita, karena di dalam universitas Ramadan kita diajarkan untuk berbicara hanya yang baik-baik saja atau yang seperlunya.

Allahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil Hamd
Bapak, Ibu, Saudara/i-ku dalam kejernihan pikiran dan kebeningan rasa,

Suatu ketika Rasulullah datang ke Quba (Madinah) dan ia sedang dalam keadaan berpuasa, lalu para sahabat mendatanginya saat berbuka dengan membawa semangkuk susu yang telah dicampur madu di dalamnya, lalu Rasulullah meminumnya dan bertanya: “Apa ini?”, “Susu yang diberi madu wahai Rasul, jawab para sahabat. Kemudian Rasulullah saw. bersabda:

ومن تواضع رفعه الله، ومن تكبر وضعه الله

“Barang siapa yang rendah hati, maka Allah akan angkat dan barang siapa yang angkuh, maka Allah akan hinakan” (Ibn Abî al-Dunyâ, al-Tawadu’ wa al-Khamûl, Bâb al-Tawâdu’, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989).

Pada kesempatan yang lain, Rasulullah saw. bersabda:

من تواضع رفعه الله، ومن تكبر قصمه الله عز وجل،

“Barang siapa berendah diri, Allah akan angkat dan barang siapa yang sombong, Allah akan hancurkan.”


Ingin dihargai dan dihormati adalah hal yang lumrah dan wajar. Tetapi, kalau keinginan dihargai dan dihormati memperbudak kita, sehingga kita sombong, ini yang berbahaya. Mereka yang diperbudak dengan kepintaran, kecantikan, kegantengan, kekayaan, kemiskinan, ketenaran, dan kedudukan adalah orang-orang yang diperkuda oleh keangkuhan dan keakuan. Tak ada ketenangan dalam hidup. Tidak ada kedamaian yang terpancar dari air muka orang angkuh dan sombong. Jiwanya selalu menginginkan apa yang belum dimilikinya. Matanya ingin menghendaki apa yang orang lain punyai. Resah, gelisah, dan tidak tenang selalu melanda orang-orang pemilik hati yang angkuh. Orang yang merasa tidak puas terhadap apa yang dimiliki dan selalu ingin mengejar apa yang dimiliki orang lain adalah salah satu nikmat iman yang telah dicabut dari hati.

Betapa sempitnya pikiran kita, betapa pengapnya hati kita, jika kesuksesan orang lain, jika kekayaan orang lain selalu dilihat dengan mata iri dan dengki yang muncul karena keakuan yang akut. Hati tidak akan pernah tenteram dan tenang, jika kita menginginkan apa yang orang lain miliki. Akibatnya timbul sifat rakus. Dengan kerakusan, kita akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang kita ingini. Kita telah membuat neraka bagi diri sendiri kita. Sesungguhnya yang memasukkan ke dalam neraka bukanlah Allah, tetapi karena perbuatan kita sendiri.

Qatadah, seorang Tabiin, berkata:

« من أعطي مالا أو جمالا وثيابا وعلما ثم لم يتواضع كان عليه وبالا يوم القيامة»

“Barang siapa yang diberi kekayaan atau kecantikan-kegantengan atau pakaian (rumah-mobil) atau ilmu, tetapi tidak rendah hati, maka akan berbalik melaknat kepadanya dan akan ada siksa di hari kiamat.”

Suatu ketika Muadz Ibn Jabal bertanya kepada Rasulullah “Apakah angkuh dan sombong itu adalah mereka yang memakai pakaian yang bagus, mengendarai mobil yang bagus, dan makan yang enak dengan para teman dan kerabatnya?”. Rasulullah menjawab “Bukan, tetapi:

« الكبر أن تسفه الحق وتغمص المؤمن،

“Sombong itu adakah menolak kebenaran dan merendahkan orang lainnya (mukmin).”


Betapa banyak kebenaran yang datang kepada kita, hanya karena gengsi kita menolaknya. Kita tahu bahwa yang haram adalah haram, tetapi berupaya mencari celah menghalalkannya dengan segala daya upaya dan cara. Betapa diri ini selalu menganggap orang lain rendah dan remeh, hanya karena keakuan dan keangkuhan. Kita hina orang lain dengan cibiran mulut, kerlingan mata, detak hati, dan gibah hanya karena kita tidak bisa sepertinya. Terlalu sering kita menjatuhkan orang lain agar diri ini tampak lebih hebat darinya. Inilah ketakaburan yang akan menjatuhkan diri kita.

Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd
Saudaraku yang senantiasi dalam lindungan kasih dan berkat Allah,

Ramadan yang baru saja kita lalui semoga telah mampu mengubur dalam-dalam keangkuhan dan keakuan itu. Dengan idul fitri kali ini, semoga kita dapat menanam rasa rendah hati (tawaduk). Orang yang merayakan Idul Fitri adalah bukan mereka yang menggunakan pakaian baru dan memiliki mobil baru atau rumah baru, tetapi mereka yang ketaatannya bertambah. Nah, orang yang beridul fitri pada hari ini adalah mereka yang menanam kerendahhatian di dalam hatinya sehingga akan menjadi pribadi yang mempesona. Agar kaki sang hidup ini tidak goyah, maka mari kita tanamkan rasa tawaduk di hati kita. Karena hanya dengan rendah hati yang akan mencemerlangkan diri kita.

Lihatlah akar pohon. Ia tertanam ke dalam tanah dan merupakan sumber segala-galanya bagi pohon. Akar bekerja keras mencari air untuk menghidupi batang dan ranting, daun dan bunga. Ia tidak pernah mengeluh dan protes karena tidak terlihat. Jasanya tidak diketahui orang. Akar tidak pernah menyombongkan diri dengan tampil ke permukaan. Berkat akarlah, pohon dapat menampilkan daunnya yang indah, bunganya yang menawan. Akar memiliki sifat rendah hati, sehingga semuanya berjalan dengan baik. Semakin dalam akar, semakin kukuh pohon. Semakin dangkal akar, semakin cepat tercerabut. Begitulah perumpamaan orang yang rendah hati. Semakin dalam rendah hatinya, semakin Allah akan angkat derajatnya, semakin minim cadangan rendah hatinya, semakin Allah akan hinakan dirinya.

Suatu ketika Umar Ibn Khattab berkata:

العبد إذا تواضع لله عز وجل رفع الله حكمته،

“Hamba yang tawaduk, merendahkan hati, untuk Allah akan Allah angkat hikmahnya (ilmunya, derajatnya, namanya, kemuliaannya)”.

Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamd
Bapak/Ibu, saudaraku terkasih yang saling memuliakan,

Puasa yang baru kita lalui adalah ibadah istimewa karena Allah sendiri yang akan membalasnya langsung. “Kullu ‘amalibni âdama lahu illas shawmu, fa’na ajzi bih, setiap perbuatan anak Adam bagi dirinya, kecuali puasa, ia adalah milikku, aku sendirilah yang akan membalasnya.” Tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah kita berpuasa atau tidak. Ini menyiratkan bahwa kita diperlukan kerendahhatian dalam menjalankan puasa agar kita tidak riya, ujub, takabur dengan puasa yang kita jalankan, karena bisa jadi puasa kita tidak berarti apa-apa di hadapan Allah.

Lalu bagaimanakah rendah hati (tawaduk) itu? Fudayl Ibn Iyadl, seorang sufi agung, pernah ditanya suatu ketika “Apakah tawaduk, rendah hati itu?. Fudayl menjawab:

« التواضع أن تخضع، للحق وتنقاد له، ولو سمعته من صبي قبلته منه، ولو سمعته من أجهل الناس قبلته منه» .

“Rendah hati (tawaduk) adalah engkau patuh kepada kebenaran dengan mengikutinya, walaupun kamu mendengarnya dari anak kecil, tetapi kamu menerimanya, dan walaupun kamu mendengarnya dari manusia yang paling bodoh sekali pun kamu menerimanya.”


Tawaduk, rendah hati, di sini berarti ada suatu proses belajar terus-menerus (long life education/minal mahdi ilal lahdi). Menerima kebenaran dari mana pun datangnya. Selalu terbersit di dalam hati untuk terus berkata “Aku harus belajar”. Ketika orang berhenti belajar, maka selesailah sudah perjalanan kehidupannya.

Yahya Ibn Kasir, seorang alim dan sufi, berkata:

« رأس التواضع ثلاث أن ترضى بالدون من شرف المجلس، وأن تبدأ من لقيته بالسلام، وأن تكره المدحة والسمعة والرياء بالبر»
Inti rendah hati (tawaduk) ada tiga:

Pertama, engkau rela (rida) tanpa apa pun di majelis yang mulia. Artinya, sulit sekali ketika datang ke suatu tempat tanpa disapa dan dihargai. Sang aku selalu menuntut untuk dihargai dan dihormati. Namun, diterangi dengan kerendahhatian, maka langkah kedamaian dan kesucian menyertai kita. Disapa atau pun tidak sama saja.

Kedua, engkau memulai menyapa (memberi salam) kepada orang yang kamu jumpai. Memang susah rasanya, ketika bertemu seseorang kita yang lebih dulu menyapa. Ada keakuan yang tinggi di sana yang menghambat diri untuk beruluk salam. Energi untuk menyapa itu berat sekali. Jika direnungi: apa sulitnya menyapa? Padahal tidak ada risiko menyapa. Urusan orang lain membalas sapaan kita atau tidak, itu di luar kehendak kita. Saking mulianya menyapa ini, Rasulullah bersabda “Menyapalah kalian, maka akan masuk surga dengan selamat, afsyus salâm, tadkhulul jannat bis salam”. Oleh karena itu, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan sapaan, salam, senyuman, dan persahabatan dibandingkan dengan keangkuhan, keakuan, gengsi, cemberut, kemarahan, dan kebencian.

Ketiga, Engkau tidak suka ketika kebaikanmu dipuji, diceritakan ke orang lain, dan diperlihatkan orang lain. Kita juga teramat senang dan gembira kalau banyak dipuji. Ketika hal-hal sederhana seperti ini belum menjadi olahraga batin kita, sulit rasanya rendah hati menjadi selimut hati kita.

Bagi mereka yang tinggal di dekat sungai dan laut, seperti ayah saya yang berasal dari Pekan Baru, Melayu-Riau, yang hidup di pinggir sungai Siak, kehidupan di pinggir sungai/laut membawa ke perenungan yang dalam. Suatu ketika ia berpesan “Lihatlah air laut. Semua air kali dan sungai mengalir ke laut. Ia lebih banyak dari air sungai. Laut menjadi besar, gagah, dan bahkan menakutkan justeru karena laut berani untuk merendah”. Seperti kata Rabindranath Tagore “Kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati.” Dengan rendah hati, tawaduk, hidup kita menjadi sehat. Karena yang sehat, seperti kata Goenawan Muhammad, adalah yang hidup dan tumbuh dan bekerja terus dalam keterbatasan, seperti cinta yang tak diakui. Dari sini kita bisa merayakan apa yang mungkin gagal tapi indah, menyambut apa yang tak tentu, pada tiap detik memberi alasan untuk hidup yang berarti. Hidup hanya sebentar, hiduplah yang berarti.

Dalam kehidupan manapun yang menyelami lapisan-lapisan kerendahhatian secara mengagumkan, dan kemudian berpelukan dengan kehidupan secara penuh penerimaan, inilah awal terbitnya matahari kesadaran di dalam diri. Tidak ada pertanyaan di sana, apa lagi penolakan. Sebutan pintar dan hebat tidak lagi menggoda. Kaya dan terkemuka, juga serupa. Dikasih terimakasih, tidak dikasih juga terimakasih. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus bodoh pun tidak ada masalah. Bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya, dan bukan yang seharusnya, kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus pelayanan bermakna buat pihak lain, tulis Gede Prama. Inilah tawaduk, rendah hati, yang sejati. Jika sudah demikian pekerti kita, maka kita tinggal menanti kehidupan dan kematian dalam puncak prestasi kemulian kita.

Orang yang rendah hati itu sudah nampak dari air mukanya: bersinar, terang, bercahaya. Senang rasanya kita melihat air dan raut muka orang yang rendah hati. Setiap perkataannya tidak dibuat-buat, mengalir seperti permata, bak berlian. Tutur kata yang keluar sederhana, tapi, aduh, indah sekali, mendengarnya itu menyejukkan hati. Setiap perkataannya yang keluar seperti apa yang dipikirkan dan terdetik di dalam hati. Tidak ada maksud dan tujuan untuk meraih kepentingan untuk dirinya. Setiap perbuatannya dilakukan dengan senang dan bahagia, bukan untuk menonjolkan diri, bukan untuk mencari muka. Mengalir saja. Indah sekali perangai orang yang rendah hati itu. Ketika berhubungan dengan orang lain, tidak ada sesuatu yang ingin dicari. Tidak ada kepentingan di dalam hatinya ketika berhubungan dengan orang lain, selain berbuat yang terbaik bagi hamba Allah yang lain. Orang tawaduk membawa lentera ke mana-mana. Orang rendah hati merupakan pribadi yang mengagumkan yang dapat memuliakan orang di sekitarnya. Inilah manifestasi dari takwa yang merupakan tujuan dari puasa yang telah kita jalani sebulan penuh.

الله أكبر بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم. ونفعنى وإيّاكم بتلاوته إنه هو الذكر الحكيم. فاستغفروا الله يغفرلكم إنّه هو البر الرحيم.

Zakat Fitrah dan Zakat Mal

Pendahuluan

  • Wajib zakat : aqimus salata wa atuz zakata. QS. Al-Baqarah/2 :43, 83, 110.
  • « Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. al-Tawbah/9:60)».
  • Tidak ada dengki terhadap 2 orang : orang kaya yang hartanya habis untuk kebaikan dan orang yang diberi hikmah (ilmu) dan ia mengamalkannya dan mengajarkannya. (HR Bukhari dari Abdullah Ibn Masud)

Zakat Fitrah

  • Zakat fitrah, menurut Ibn Qutaybah bahwa fitrah berarti nufus, yaitu jiwa dan zakat sendiri berarti mensucikan dan mengembangkan. Berarti jiwa itu harus dibersihkan dan dikembangkan. Jadi, zakat fitrah adalah zakat jiwa.
  • Zakat dari harta yang berasal dari harta haram tidak diterima berdasarkan QS.2 :263 dan hadis Nabi saw. la yaqabalullahu sadaqatan min ghululin (Allah tidak menerima sedekah/zakat dari harta hasil menipu) (HR. Bukhari dalam Fathul Bari) juga hadis Nabi saw. Man tasaddaqa bi’adli tamratin min kasbin tayyibin, fainnallaha yataqabbaluha biyaminihi, … la yaqbalulllah salatan..sadaqatan…wa la yaqbalu illa min kasbin tayyibin
  • Bukhari meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar ttg zakat fitrah bahwa Rasulullah mewajibkan zakat fitrah 1 shâ (4 mud, yaitu 2,5 kg atau 3,5 liter) kurma atau gandum kepada orang merdeka atau budak, lelaki, perempuan, besar dan kecil dari semua umat Islam sebelum melaksanakan salat Idul Fitri (Hadis no. 1503, juz 4, h. 138, dalam Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari).
  • Waktunya pembayaran zakat fitrah hingga sebelum khutbah Idul Fitri (Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari).
  • Zakat atau sedekah boleh secara terang-terangan (QS. al-Baqarah:274) dan boleh secara sembunyi-sembunyi (QS. al-Baqarah:271).
  • Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda «Seseorang bersedekah dg tangan kanannya, ia sembunyikan, sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang dibuat tangan kanan » (Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari, bab al-zakat).

Zakat Mal

  • Zakat mas: 85 gram dan zakat perak 96 gram.
  • Zakat padi, gandum, kurma yaitu 5 wasaq atau 300 sha’, yaitu 615 kg.
  • Zakat unta mulai dari 5 ekor
  • Zakat dikenakan terhadap hasil peternakan, perkebunan, hutan, mas, perak, barang tambang, barang temuan, profesi, sewa,
  • Wajib zakat mal : sudah nisab (batas minimal ukuran kewajiban) dan hawl (berlalu setahun atau sempurna kepemilikannya selama 1 tahun).

Zakat Perhiasan
  1. Ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syafii : perhiasan tidak wajib dizakati.
  2. Hadis no. 1466, Fathul Bari, juz 4, h. 88, diriwayatkan oleh Bukhari dari Amru Ibn Haris, Rasulullah bersabda « Tasaddaqna walaw bihuliyyikunna » bersedekahlah/berzaktlah walau dengan perhiasanmu. Dari sini sebagian ulama berpendapat bahwa perhiasan pun wajib dizakati.  

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

AYANG UTRIZA NWAY

Hukum Berzakat atau Bersedekah Kepada Sanak Saudara atau Kerabat

  • Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari Anas Ibn Malik bahwa Abu Thalhah menzakatkan/menginfakkan barang yang paling dicintainya (QS. Alu ‘Imran:92, lan tanalul birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun). Kemudian Abu Thalhah berzakat kepada kerabat dan anak-anak pamannya (keponakannya). Rasulullah bersabda ‘lahu ajrâni : ajrul qarâbati wa al-sadaqati’ (Baginya 2 pahala: pahala berkat kekerabatan dan pahala berkat sedekah/zakat). (lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari, hadis no. 1461, juz 4, h. 84).
  • Setiap Rasulullah selesai salat Idul Fitri atau Idul Adha dan saat pulang beliau selalu menasehati dan mengajarkan untuk bersedekah. Saat melewati para sahabat perempuan, Rasulullah bersabda: “Bersedakahlah kalian, sebab kebanyakan perempuan aku lihat di neraka.” “Mengapa demikian?, tanya para perempuan. “Karena kalian suka melaknat (menghina) dan kufur (tak bersyukur) atas penghasilan/pendapatan keluarga”, jawab Rasulullah (lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari, hadis no. 1462, juz 4).
  • Zaynab, isteri Abdullah Ibnu Masud, datang ke Rasulullah dan mengatakan bahwa dia memiliki perhiasan dan ingin menyedekahkannya. Tetapi, suaminya mengatakan bahwa ia dan anak-anaknya lebih berhak mendapatkan sedekah itu. Rasulullah bersabda « sadaqa Ibnu Mas’udin, zawjuki wa waladuki ahaqqu min an tasaddaqti bi alayhim » Ibnu Mas’ud benar, suami dan anakmu lebih berhak mendapat sedekah darimu (lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari, hadis no. 1462, juz 4).
  • Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari Amru Ibn Haris bahwa Zaynab, isteri Abdullah Ibnu Masud datang kepada Rasulullah dan bertanya « Apakah aku boleh berzakat/bersedekah kepada suami dan anak-anak yatim asuhanku ? Rasulullah menjawab : na’am wa laha ajrani : ajrul qarâbati wa ajrul sadaqati (Ya, boleh. Baginya 2 pahala: pahala berkat kekerabatan dan pahala berkat sedekah/zakat) (lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari, hadis no. 1466, juz 4).
  • Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari Zaynab Bint Ummi Salamah. «Wahai Rasulullah, apakah aku dapat pahala berzakat/bersedekah terhadap anak-anak Abu Salamah yang secara nyata mereka adalah anak-anakku juga?”. Rasulullah menjawab “Anfiqi alayhim, falaki ajrun ma anfaqta ‘alayhim.” “Infakkanlah (sedekahkanlah/zakatkanlah) hartamu kepada mereka. Bagimu pahala atas apa-apa yang engkau infakkan kepada mereka.” (lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari, hadis no. 1467, juz 4).
  • Dengan demikian hukum berzakat ke sanak-saudara dan kerabat adalah BOLEH, selain orang tua, anak-isteri, dan saudara kandung perempuan yang belum menikah.
  • Isteri boleh berzakat ke suami, karena bukan tanggung jawabnya berdasarkan hadis dari Zaynab (HR. Bukhari). 
  • Berzakat ke keponakan boleh berdasarkan hadis dari Abu Thalhah (HR. Bukhari).

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

AYANG UTRIZA NWAY

Monday 15 August 2011

Musibah Kematian

Kematian adalah musibah bagi seorang muslim dan musibah tersebuh adalah musibah paling berat. Allah berfirman dalam QS. al-Mâ’idah/5:106:

 «… Lalu kamu ditimpa musibah kematian… ».

Arti Kematian

·         HR. Tirmizi meriwayatkan hadis bahwa saat anak Nabi Adam meninggal, Nabi Adam berkata kepada isterinya Siti Hawa : « Wahai Hawa anakmu sudah meninggal » (Ya hawwâ’ qad mâta ibnuki). Kemudian Hawa bertanya : «Wa ma al-mawtu ? » (Apa itu mati). Adam menjawab « la ya’kulu, wa la yasyrabu, wa la yaqûmu wa lâ yaq’udu » (Mati itu tidak makan, tidak minum, tidak berdiri dan tidak juga duduk). Mendengar itu pun Siti Hawa menangis. 

·        Kematian adalah terputusnya bergantungnya ruh dengan badan dan berpisahnya ruh dengan badan, berubahnya keadaan, dan pindahnya dari rumah satu ke rumah yang lain  (al-mawtu huwa inqitâ’u ta’alluqi al-rûhi bi al-badani wa mufâraqatuhu, tabaddulu hâlin, wa intiqâlu dârin ilâ dârin).

·         Hayyân Ibn al-Aswad berkata « al-Mawtu jisrun yuwsilu al-habîbab ila al-habîbi » (Kematian itu seperti jembatan. Jembatan yang menghubungkan kekasih (makhluk) kepada kekasih [Allah]).


Berangan-angan Mati

·         HR. Muslim dari Anas « La yatamannayanna ahadakumul mawta bidurrin nuzila bihi » Janganlah di antara kalian berangan-angan mati dengan bahaya yang menimpa dirinya.
·         

Imam Bukhari meriwayatkan hadis dengan isi yang kurang lebih sama dan kemudian berkata « Janganlah di antara kalian berangan-angan kematian, karena (dengan umurnya yang panjang)  jika ia orang baik, semoga kebaikannya bertambah dan jika ia orang buruk, semoga ia dapat bertaubat » (La yatamannayanna ahadakumul mawta : Immâ muhsinan, fala’allahu an yazdâda kyahran. Wa immâ musî’an fala’allahu an yasta’tiba).

·         Sahal Ibn Abdullah al-Tustari (seorang sufi) berkata : lâ yatamannâ ahadukum al-mawfta illâ salâsatin : (janganlah seseorang berangan-angan mati, kecuali tiga orang) : rajulun jâhilun bima ba’dal mawt (seorang bodoh yang berangan-angan setelah kematian), aw rajulun yafirru min aqdârillâhi ta’âlâ (seorang yang lari dari takdir Allah swt.), musytaqun muhibbun liliqâ’illâhi ‘azza wa jalla (seorang yang rindu dan cinta untuk bertemu dg Allah).


AYANG UTRIZA NWAY

(Sumber bacaan: Imam al-Qurtubi, al-Tazkirah Fi Ahwâl  al-Mawtâ, Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.)

Makna Takwa

Rasulullah bersabda: “Inna akhwafa ma akhâfu ala ummatî ittibâ'ul hawâ wa tûlul 'amal, apa yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan.” Mengikuti nafsu bermakna menolak kebenaran dan panjang angan-angan berarti melupakan akhirat (HR. Bayhaqi dalam kitab Syuabul Iman).

Pada suatu ketika ditampakkan kepada Nabi Yahya setan dan bersama setan itu sebuah ikat atau tali. Nabi Yahya bertanya “Apa itu?”. “Ini adalah syahwat,” kata setan. Artinya tali atau ikat untuk menjerat manusia adalah syahwat, yaitu semua kenikmatan dunia (harta, seks, pangkat, jabatan, dstnya).

Untuk itu, kita butuh memiliki sifat takwa sebagaimana tujuan berpuasa seperti dinyatakan dalam QS. al-Baqarah/2:183.

Lalu apa makna takwa itu?

  1. Takwa berasal dari kata waqâ artinya menahan (manaa) berarti menahan semua nafsu syahwatnya, mana’a nafsahu min syahwatihi.
  2. Takwa adalah mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah swt. lahir dan batin, merasakan kebesaran Allah, kewibawaan Allah, takut kepada Allah dan cemas kepada Allah.
  3. Takwa adalah seorang hamba hanya takut kepada Allah.
  4. Takwa yang sesungguhnya ialah meninggalkan semua dosa.
  5. Abu Abdullah mengatakan bahwa “Takwa adalah menjauhi apa saja yang membuatmu jauh dari Allah.”
  6. Takwa adalah perbuatan taat kepada Allah, karena takut azab Allah.
  7. Sahal Ibn Abdullah berkata bahwa “Takwa adalah tidak ada penolong kecuali Allah, tidak ada petunjuk kecuali Rasulullah, tidak ada bekal kecuali takwa, dan tidak ada amal kecuali dengan sabar. Karena Allah akan menguji hambanya dengan sakit, sehat, kaya dan miskin.

Ayang Utriza NWAY

(Sumber: Sayyid Bakr al-Makki Ibn Sayyid Muhammad Syathâ al-Dumyâthî, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Asfiya, Semarang: Thaha Putra, hlm. 7-8)

Makna Laylatul Qadar

* Makna qadar di sini adalah al-ta’zîmu, kemulian dan kebesaran. Jadi, laylatul qadar berarti malam mulia.

* Mengapa disebut “malam mulia”? karena di dalamnya terdapat beberapa kemulian yang turun secara bersamaan:


1. Di dalamnya diturunkan al-Quran dari lauh al-mahfudz (singgasana Allah) ke baytul izzah (langit bumi).
2. Para malaikat dan ruh turun ke bumi pada malam tersebut.
3. Turunnya berkah, rahmat, dan magfirah pada malam itu.
4. Pengaturan rezeki bagi setiap hamba oleh Allah swt.
5. Ketika itu Allah mengatur khittah (langkah) dan strateginya guna mengajak manusia kepada ajaran yang benar.
6. Adanya ketetapan, karena pada malam itu terjadi ketetapan (takdir) bagi perjalanan hidup manusia.

* Laylatul qadar (berarti juga "malam penentuan") terjadi pada 10 malam terakhir bulan Ramadan, seperti sabdi Nabi Muhammad saw.: "Taharraw laylatal qadri fil witri minal asyril awakhir”, (Bidiklah/Intiplah laylatul qadr pada malam ganjil sepuluh malam terakhir)

* Laylatul qadar turun terutama pada malam ganjil, seperti sabdi Nabi saw.: “Bersungguh-sungguhlah pada 7 malam terakhir” (iltamasûha fil sab’il awâkhir).

* Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah pada malam ke-25, 27, dan 29 Ramadan.

* Pada 7 malam terakhir, sebagian sahabat Nabi diperlihatkan di dalam tidur mereka malam takdir (laylatul qadr).


Tanda seseorang telah mendapatkan laylatul qadar adalah keadaannya lebih baik dari sebelumnya: bertambah baik, saleh, rajin ibadah, baik kepada keluarga, peduli kepada lingkungan, perhatian kepada yatim piatu, membantu kaum duafa, tidak korupsi, tidak narkoba dan miras, tidak judi, tidak merasa benar sendiri, tidak berlaku SARA, tidak menebang pohon sembarangan, tidak membuat hutan gundul, menghargai perempuan, menghargai hak-hak asasi setiap manusia, dstnya. Wallahu a'lam.

AYANG UTRIZA NWAY


(sumber rujukan. Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari, jilid 4, hlm.784-5, Bab Laylatil Qadr)

Friday 12 August 2011

Sekilas Tentang Turunnya Al-Quran


1.  Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan.
2.  Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3.  Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4.  Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
5.  Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.


Alquran Turun melalui 2 Tahapan

Tahapan pertama: Alquran turun dari singgasana Allah ke langit dunia.
Menurut Imam al-Biqai dalam tafsirnya Nazhm al-Durar (juz 8, hlm. 490) bahwa ayat pertama QS. al-Qadr itu menjelaskan turunnya Alquran secara langsung dan sekaligus dari Lawh al-Mahfuz ke Bayt al-Izzah di langit dunia. Demikian juga menurut Imam Tabari dalam tafsirnya (juz 30, h. 261) bahwa Alquran turun ke langit dunia seluruhnya pada malam laylatul qadar.

Tahapan kedua: Alquran turun dari langit dunia kepada Rasulullah saw.
Kemudian, Alquran turun secara berangsur kepada Nabi Muhammad saw. sepanjang 23 tahun. Ayat pertama, yaitu Iqra, turun pada malam bulan Ramadan juga. Tetapi, para ulama berbedapa pendapat mengenai kapan pastinya.

Syeikh Mufti Ali Husamuddin al-Muttaqi al-Hindi dalam kitab Kanzul Ummâl (jilid II, juz I, h. 360 mencatat hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Rasulullah bersabda «Suhuf (lembaran wahyu Allah) diturunkan kepada Ibrahim pada malam kedua Ramadan, kitab Zabur diturunkan kepada Daud pada malam keenam, kitab Taurat diturunkan kepada Musa pada malam ke-18, dan Alfurqan (kitab Alquran) diturunkan kepada Muhammad pada malam ke-24.

Imam Tabari memberikan penjelasan lebih rinci tentang tahapan Alquran turun dalam tafsirnya (juz II, h. 84):

  • Alquran turun, baik seluruhnya maupun berangsur, pada 10 malam terakhir bulan Ramadan.
  • Alquran turun seluruhnya dari lawhul wahfuz ke langit dunia pada malam laylatul qadar.
  • Alquran turun secara berangsur dan pertama kali terjadi pada malam ke 24 bulan Ramadan kepada Nabi Muhammad saw.

Sementara itu, menurut Imam al-Biqâ’i dalam tafsirnya Nazhm al-Durar (Juz I, h. 342) bahwa 17 Ramadan adalah waktu pertama kali Alquran turun secara berangsur dari langit dunia ke bumi kepada Nabi Muhammad saw., yaitu surat al-‘Alaq, ayat 1-5, sbgm disebutkan di dalam Alquran:

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (Qs. Al-Baqarah/2:185).


Pembukuan Alquran


Mufti al-Hindi dalam Kanzul Ummâl, Jilid II, Juz I, h. 360, meriwayatkan hadis:
  • Dari Ali kw. dan Sa’sa’ah : orang yang mengumpulkan Alquran adalah Abu Bakar.
  • Dari Zayd Ibn Tsabit : pada peperangan Yamamah (perang terhadap orang-orang murtad), banyak para penghafal Quran yang gugur. Lalu, Umar berkata kepada Abu Bakar bahwa ia kuatir jika tak dikumpulkan, maka Alquran akan hilang.
  • Pada awalnya, pemikiran Umar ditolak oleh Abu Bakar, karena perbuatan ini belum dilakukan oleh Rasulullah saw. Ide untuk mengumpulkan Alquran ini berulang kali disampaikan oleh Umar yang terus memberikan penjelasan ttg pentingnya menyatukan Alquran yang terserak ini. Akhirnya, usulan Umar tsb disetujui oleh Abu Bakar.
  • Lalu, masalah lain muncul. Siapakah yang bertugas untuk mengumpulkan Alquran? Ditunjuklah Zayd Ibn Tsabit oleh Abu Bakar. Ia pun berkeberatan dan tak sanggup memikul beban tanggung jawab yang berat itu. Hingga akhirnya, ia pun teryakinkan oleh Abu Bakar akan pentingnya pekerjaan tsb.
  • Zayd kemudian mengumpulkan catatan-catatan Alquran yang berserak tsb. Setelah terkumpul, Alquran diserahkan dan disimpan oleh Abu Bakar.
  • Setelah Abu Bakar meninggal, Alquran diserahkan ke Umar.
  • Setelah Umar meninggal, diserahkan ke Hafsah, putri Umar.
  • Lalu, pada masa Usman, Alquran digandakan menjadi 6.  
Tambahan dari penulis :
Keenam Alquran inilah yang kemudian dijadikan induk penyalinan dan rujukan satu-satunya Alquran untuk menyeragamkan bermacam bacaan Alquran yang ada pada saat itu di dunia Islam. Bacaan Alquran yang tak sesuai dengan keenam Alquran tersebut harus dimusnahkan. Bacaan Alquran tersebut dikenal dengan sebutan Mushaf Usmani yang ada hingga sekarang.

Ayang Utriza NWAY

Tuesday 9 August 2011

Mengenal Sepintas tentang Iktikaf (I'tikâf)




Hadis Iktikaf
  • Hadis dari Abdullah Ibnu Umar, Aisyah menyebutkan bahwa Rasulullah iktikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadan. Nabi terus melakukannya setiap bulan Ramadan hingga wafat. Nabi melakukannya di dalam masjid. (Fathul Bari/4:805 & Sahih Muslim/8:66-70).


Ayat-Ayat Iktikaf

Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. al-Baqarah/2:187)

Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. Al-Baqarah/2:125).

Makna Iktikaf dan Caranya


  • I’tikaf adalah salah satu cara yang dilakukan dengan berdiam diri untuk bertafakkur dan berdzikir di masjid.
  • Iktikaf merupakan bagian dari tahapan-tahapan mujahadah (usaha sungguh-sungguh) untuk mendapatkan dan menggapai hidayah dan ridha Allah swt. (QS.29:69)
  • Ada 4 tahapan mujahadah yaitu;
  1. mengasingkan diri(uzlah),
  2. berdiam diri (ash-shumtu),
  3. berlapar diri (al-ju’),
  4. dan tidak tidur malam  (as-sahur).
  • Keempat tahapan ini telah tercakup dalam bulan Ramadhan dan khususnya dalam I’tikaf.

Fikih Iktikaf
  • Lelaki beriktikaf di masjid. Menurut Imam Syafii: perempuan tidak boleh iktikaf di masjid. Menurut Imam Hanafi perempuan boleh beriktikaf di masjidnya sendiri (pribadi). Menurut pendapat Imam Hanafi yang lain dan Imam Ahmad Bin Hanbal perempuan boleh beriktikaf di masjid dengan syarat bersama suaminya (Fathul Bari Bisyarhi Sahihil Bukhari, vol. 4, hlm.810, bab al-i’tikaf)
  • Menurut saya perempuan boleh beriktikaf di Masjid.

Ayang Utriza NWAY

Sunday 7 August 2011

Hak dan Kewajiban Bertetangga

Oleh: Ayang Utriza NWAY



Rasulullah saw. bersabda «al-Jîrânu salâsu jârin: (1) jârun lahu haqqun wâhidun, (2) wa jârun lahu haqqâni, (3) wa jârun lahu salâsu huqûqin:

Ada tiga macam tetangga:
(1) tetangga yang mempunyai satu hak ;

(2) tetangga yang mempunyai dua hak ; dan

(3) tetangga yang memiliki 3 tiga hak.

Rasul melanjutkan sabdanya: (1) fal jârul lazî lahu salâsu huqûqin al-jârul muslimu zûr rahimi; (2) wal jârul lazî lahu haqqâni al-jârul muslimu; (3) wa al-jârul lazî lahu haqqun wâhidun al-jârul musyrik.

(1) Tetangga yang mempunyai tiga hak adalah tetangga, muslim, dan saudara; [maksudnya kita terikat tiga hak: hak bertetangga, hak sesama muslim, dan hak sesama saudara]

(2) Tetangga yang mempunyai dua hak adalah tetangga muslim; [maksudnya : kita terikat dengan dua hak, yaitu hak antartetangga dan hak antarmuslim]

(3) Tetangga yang mempunyai satu hak, yaitu tetangga tidak seiman dengan kita. [maksudnya : kita terikat dengan satu hak, yaitu hak antartetangga di mana nilai-nilai kemanusiaan dan universal menjadi pedoman hidup bersama, seperti saling tolong-menolong, menjenguk jika sakit, saling membagi kelebihan rezeki dll.)

Adab bertetangga ini sangat penting. Bahkan Rasulullah bersabda di kesempatan lain «Man kâna yukminu bilLâhi wal yawmil âkhiri falyukrim jârahu» Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya. Jika kita memasak, maka perbanyaklah, dan kita bagikan kepada para tetangga kita, demikian nasehat Rasulullah. Jika bertemu, ucapkanlah salam. Jika diundang, kita wajib memenuhinya. Jika sakit, kita wajib menjenguknya. Jika meminta perlindungan, kita wajib melindunginya. Jika meminta tolong, kita wajib menolongnya. Jika tidak ada di rumah, kita wajib memperhatikan rumahnya. Jika suami, atau isterinya bekerja, maka kita wajib menjaga kehormatan rumah tangga tetangga kita, bukan sebaliknya.

Malaikat Jibril senantiasa menasehati Nabi Muhammad perihal tetangga ini. Hal menunjukkan betapa pentingnya tetangga dalam kehidupan kita. Tidak boleh menyakiti tetangga dengan perkataan dan perbuatan. Apalagi menjatuhkan kehidupan tetangga dengan cara-cara yang dibenci Allah, misalnya dengan ilmu hitam dll. Ini bukan saja menghancurkan kehidupan bertetangga, tetapi juga menghancurkan keimanan. Tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita. Tetangga adalah bak saudara sendiri.

Oleh sebab itu, tidak boleh menyakiti tetangga. Jika kita punya motor, jangan keraskan suara motor kita. Jika kita punya mobil, jangan keraskan suara mobil kita. Jika kita punya televisi, radio atau tape, jangan keraskan bunyi suaranya. Semua itu dapat mengganggu ketenteraman tetangga kita, terlebih jika tetangga kita memiliki bayi dan anak kecil. Jika ada kesalahan dan kekeliruan mintalah maaf, atau tegurlah dengan cara yang amat baik dan tidak menyinggung. Jangan saling berlomba-lomba dalam hal harta karena didorong oleh sifat dengki, serakah, iri, dan egois, karena hal itu akan membuat hubungan pertetanggaan tidak harmonis.

Rasulullah bersabda «al-Muslimu man salimal muslimûna min lisânihi dan yadihi» Orang Islam adalah ketika orang Islam yang lain selamat dari mulut dan tangannya. Maksudnya: jika kita mengaku orang Islam, maka kita tidak boleh menganggu orang lain dengan perkataan, pembicaraan, dan omongan kita. Kita tidak boleh menyakiti orang Islam yang lain dengan lisan dan mulut kita, seperti menghardik, menghina, dan mencaci. Jika kita mengaku orang Islam, maka tidak boleh menyakiti orang lain dengan tangan kita, maksudnya memukul, mempersulit orang lain dengan posisinya dstnya.

Di lain kesempatan Rasulullah bersabda «al-Mukminu man aminahul mukminûna ‘ala anfusihim wa amwâlihim» Orang beriman adalah ketika orang beriman yang lain aman atas diri dan harta mereka dari dirinya. Artinya, jika kita mengaku beriman, berarti kita harus dapat menjaga diri dan harta kaum mukmin yang lain. Jika kita beriman, berarti kita harus dapat menjaga kehormatan orang beriman lainnya, dan dapat menjaga harta benda milik sesama orang beriman. Jika kita tidak dapat menjaga perkataan dan perbuataan kita terhadap tetangga kita, maka kita belumlah menjadi muslim. Jika tidak dapat menjaga kehormatan, diri, dan harta milik tetangga kita, maka kita belumlah beriman. Kita boleh mengaku muslim dan mukmin, tetapi dalam praktiknya jauh dari nilai-nilai islam dan iman, maka kita sesungguhnya belumlah menjadi muslim dan mukmin.

Antartetangga saling menyapa dan membantu. Bertemu di jalan mengucapkan salam. Seperti sabda Nabi «Afsyus salâm tadkhulul jannah bisalâm» Sebarkan salam, maka kamu akan masuk surga dengan selamat. Salam di sini berarti mengucapkan salam, dan juga dapat berarti menyebarkan kedamaian. Menyebarkan kedamaian sesama tetangga. Jika berkendaraan baik motor maupun mobil kita sapa dan kita tawarkan tumpangan jika satu arah. Jangan sebaliknya. Tidak peduli dengan tetangga. Kita lewat dengan motor dan mobil dan membiarkan tetangga kita yang berjalan kaki. Kita tidak menyapa apalagi menawarkan tumpangan. Ini tentu bukan akhlak yang mulia.

Selain berbuat baik kepada tetangga. Kita juga harus berbuat baik kepada sanak saudara dan pembantu yang ada di rumah kita. Rasulullah bersabda «Yaqulu Allahu ta’ala ana ar-rahmânu rahim, wa hazihir rahimi wasyaqaqtu laha isman min ismî faman washalaha washaltuhu, wa man qatha’aha qatha’tuhu » Allah berfirman Aku adalah Maha Penyayang dan Pengasih, rahim (saudara) adalah kata yang aku ambil dari namaku, karena itu barang siapa yang menyambung tali persaudaraan, maka aku akan sambungkan, barang siapa yang memutuskan tali persaudaraan, maka aku putuskan. Marilah kita jalin tali persaudaraan yang mungkin pernah terkoyak.

Kemudian Rasululah bersabda perihal pembantu «…Ath’imûhum mimma ta’kulûna waksûhum mimma talbisûn wa lâ tukallifûhum minal ‘amali ma lâ yuthîqûna fama ahbabtum fa’amsikû, wa ma karihtum fabî’û wa la tu’azzibû khalqallâhi… » Berilah mereka makan seperti kamu makan, berilah mereka pakaian, seperti yang kami pakai, jangan berikan mereka pekerjaan yang mereka tidak mampu melakukannya, jika kalian senang dengan mereka, pekerjakan, jika tidak senang, putuskanlah hubungan pekerjaan, jangan menyakiti mereka, mereka juga makhluk Allah…

***

Malu, Pornografi dan Iman Kita

Oleh : Ayang Utriza NWAY


Allah berfirman :
Alam ya’lam bi’annalLâha yarâ
«Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya»
(QS. Al-‘Alaq/96:14).

Rasulullah bersabda :
al-Hayâ’u min al-îmân
«Malu adalah sebagian dari iman»
(HR. Tirmidzi dari Abû Hurayrah»


Malu adalah bagian dari iman, seperti sabda Rasulullah ‘al-Hayâ’u min al-îmân’ «Malu adalah sebagian dari iman» (HR. Tirmidzi dari Abû Hurayrah». Artinya, sebagai seorang muslim kita harus mempunyai sifat malu, jika ingin dikatakan sebagai mukmin. Seorang dikatakan mukmin tidak cukup dengan beriman kepada Allah dan Rasulullah saja. Mukmin yang benar-benar ingin meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaannya, maka dia harus memiliki sifat malu. Sifat malu adalah salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang penempuh jalan (sâlik) menuju keridloan Allah swt. dalam tahapan-tahapan kesufian. Sifat malu berarti meyakini bahwa semua perbuatan kita selalu diperhatikan Allah.

Allah berfirman ‘Alam ya’lam bi’annalLâha yarâ’ «Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya» (QS. Al-‘Alaq/96:14). Jika demikian, maka kita akan merasa malu; kalau akan melakukan perbuatan dosa. Sebab Allah maha menatap, Allah maha menyaksikan atas apa yang kita lakukan. Karena itu, tidak ada celah bagi seorang mukmin yang telah mempunyai sifat malu untuk melakukan dosa.

Imam al-Mawardi menjelaskan dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Dîn (h. 240) bahwa tanda kebaikan ialah kelembutan dan malu, adapun tanda keburukan ialah kurang ajar dan suka berkata kotor/cabul. Artinya, sifat yang lemah lembut dan pemalu dapat menuntut kita menuju kebaikan. Sebaliknya, kurang ajar dan suka berkata kotor/cabul akan menuntun kita menuju jalan keburukan. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda “al-hayâ’u wa al-‘ayyu syu’batâni minal îmân, wal bazâ’u wal bayânu syu’batâni minan nifâq” “malu dan lembut adalah 2 cabang keimanan, dan suka berkata kotor/cabul dan banyak omong adalah 2 cabang kemunafikan”. (HR. Hassan Ibn ‘Athiyyah dari Abu Umamah).

Sifat malu akan mengantar pemiliknya ke surga. Dan sifat suka berkata kotor/cabul mengantar pemiliknya ke dalam api neraka. Inilah yang Rasulullah sabdakan “al-hayâ’u minal iman, wal iman fil jannati, wal bazau minal jufâ’i wal jufa’u finnâri’ “malu adalah sebagian dari iman, dan iman berada di surga, berkata kotor/cabul sebagian dari perbuatan tak berguna, dan Sesuatu yang tak berguna berada dalam neraka. (HR. Abu Salmah dari Abu Hurayrah).

Dengan demikian, sebenarnya, jika kita menjadi mukmin yang sejati, maka tidak ada lagi polemik pornoaksi dan pornografi : tarian, penerbitan tabloid dan majalah-majalah porno. Sebab, jangankan pornoaksi dan pornografi, berbicara yang sifatnya kotor, cabul dan berbau porno dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, apa yang tengah terjadi dalam tubuh umat Islam saat ini adalah karena kita tidak punya rasa malu.

Kita sendiri adalah penikmat yang berbau pornografi, lalu bagaimana mungkin hati ini menjadi bersih? Bagaimana mungkin keridloan Allah akan dicapai sementara kita selalu melihat hal-hal yang berbau pornografi? Bukankah Allah melarangnya? Wa la taqrabul zina, jangan dekati zina, firman Allah dalam Alquran. Salah satu tanda mendekati zina ialah mendekati dengan hal-hal yang berbau porno: internet, sms, tabloid, majalah, film atau tayangan tv yang berbau pornografi. Pelaku dan penikmat pornografi di Indonesia adalah umat Islam, karena kita mayoritas umat Islam: dari anak SD sampai kakek-kakek terjerumus dalam kemaksiyatan pornografi.

Maka tak heran jika setiap hari ada pemerkosaan dan pencabulan. Yang lebih mengerikan, terkadang ayah kandung tega memperkosa anak sendiri, atau kakek memperkosa cucu. Hendak ke manakah umat ini? Mau ke manakah bangsa ini? Anak gadis diperjualbelikan, minuman keras menjadi minuman harian, narkoba adalah makanan pelengkap, korupsi sudah menjadi hobi, selingkuh dan berzina menjadi gaya hidup. Lalu di mana arti kita shalat, puasa, mengaji? Oleh karena itu, Rasulullah bersabda ‘yabna adam, iza lam tastahyi fasna’ ma syi’ta!’ wahai anak adam jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu! (HR. Syu’bah dari Abu Mansur al-Badriyy).

Dengan memiliki sifat malu, maka ini adalah boikot paling dahsyat untuk mematikan semua bentuk kemaksiyatan yang berkaitan dengan bisnis porno dan esek-esek. Kenapa di negeri kita pornografi berkembang luar biasa tanpa ada aturan masalah porno ini? Salah satunya karena umat Islamnya sudah tidak lagi memiliki rasa malu. Ringkasnya, berani mengucapkan kata kotor/cabul dan menikmati hal yang berbau pornografi dan pornoaksi merupakan tanda bahwa kita sudah tidak lagi mempunyai sifat malu.

Lalu apakah tanda-tanda orang yang sudah memiliki sifat malu ? Bagaimana agar kita memiliki sifat malu ? Suatu saat Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya: « Istahyû minallâhi haqqal hayâ’, malulah kalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-benarnya. Para sahabat berkata « tapi kami sudah merasa malu wahai Nabiyyallâh, alhamdulillah. Rasulullah menjawab « itu bukanlah malu yang sebenarnya » «Orang yang malu dengan sebenar-benarnya ialah : falyahfazir ra’sa wama wa’a wal yahfazil batna wa ma hawa, wa liyazkural mawta walbala, wa man arâdal akhirat taraka zinatad dunya « orang yang menjaga fikiran dan bisikan hatinya, yang menjaga perut dan apa yang dimakannya, yang mengingat mati dan azab kubur, serta yang meninggalkan perhiasan dan keindahan kehidupan dunia. » Jika demikian, kata Rasulullah, faqadistahya minallahi haqqal haya’i, maka orang itu sudah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurayrah). Inilah tanda, ciri-ciri dan cara agar kita memiliki sifat malu. Wallahu A’lam.

Musibah, Iman dan Dosa Bersama

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Kita melihat, menyaksikan, dan merasakan sendiri musibah terjadi di seluruh pelosok negeri ini. Bencana alam tak henti-hentinya melanda persada Nusantara tercinta. Dari tahun 2004 hingga 2011, bencana terus menimpa negeri kita. Belum usai yang satu, sudah datang yang lain. Belum tuntas masalah tsunami Aceh, sudah datang gempa Jogjakarta. Belum selesai masalah gempa Jogja, sudah datang banjir di Sulawesi dan Kalimantan. Belum lagi usai masalah banjir, gempa di Maluku dan Lampung. Belum usai ini, gempa dan tsunami mengguncang Pantai Selatan Jawa: Pangandaran dan Cilacap. Dua hari setelah itu, giliran Banten kembali dilanda gempa. Sekarang musibah kekerasan atas nama agama. Inna lillâhi wa innâ ilayhi râji’un.

Ada apa dengan bangsa dan negeri kita ini? Apakah hal ini disebabkan minimnya peralatan yang canggih untuk mendeteksi bencana? Inikah bukti ketidakberdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi vis à vis alam ? Ke manakah para teknokrat, kalangan cerdik-cendekia kita ?

Kita dapat mengajukan ribuan tesis untuk menerangkan tragedi berbagai musibah di negeri ini sesuai dengan bidang dan keahlian kita masing-masing. Salah satu tesis itu, dari sudut pandang agama, kita menjelaskannya bahwa ini adalah peringatan Tuhan bagi kita. Allah berfirman di dalam Alquran:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’râf/7 :96)

Ayat ini terasa tepat sekali untuk negara kita. Hampir seluruh rakyat Indonesia beriman, seperti kita sebagai muslim, atau agama lain seperti Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu atau agama tempatan dan kepercayaan lokal. Untuk kita yang muslim, Islam telah menjadi agama mayoritas di negeri ini. Dari sini, tidak salah jika kita menyebut bangsa ini telah beriman secara kuantitas.

Di sini lain, Alhamdulillah, kita diberi negeri yang kaya raya akan sumber daya alam. Kita diberi keberkahan dari langit berupa hujan dan keberkahan dari bumi: pepohohan, berupa hutan yang luas dengan beraneka macam jenis pohon (terluas di dunia setelah hutan Amazona di Amerika);  tetumbuhan, berupa melimpahnya hasil buah-buahan dan sayur-mayur yang dapat kita petik hasilnya. Hasil perut bumi berupa gas, minyak, batu baru, emas, perak dan lainnya. Seharusnya, kita bisa memanfaatkan dengan baik semua potensi kekayaan alam negeri kita. Tetapi, sayang kita sendiri yang menghancurkan keberkehan negeri ini.

Ujung ayat di atas berbunyi “Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami, maka kami siksa mereka sebab perbuatannya.” Bentuk pendustaan terhadap ayat-ayat Allah, kata Ibnu Katsir adalah maksiat yang kita lakukan. Kita mengingkari ajaran Allah dan RasulNya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurânil ‘Adzhîm, Semarang: Maktabat Thaha Putra, t.t., Juz II, hlm. 231-2). Kita beriman secara kuantitas, tapi tidak secara kualitas. Kita beriman di mulut, tapi tidak di hati dan perbuatan.

Sumber daya alam yang melimpah itu dijarah, dirampas, dan diekploitasi dengan rakus dan tamak tanpa memperdulikan aturan alam: hutan ditebang demi keuntungan dan kekayaan segelintir orang. Erosi pun terjadi. Hujan tak dapat diserap oleh tanah karena sudah tandus. Akibatnya banjir bandang tak bisa tertahankan. Banjir di Sulawesi, Kalimantan dan Jawa adalah bukti terbaik betapa pembalakan liar karena kerakusan perorangan telah mengorbankan jutaan orang.

Kekayaan di perut bumi yang digali tanpa aturan alam. Ia diekploitasi dan dihisap tanpa mengindahkan alam dan orang sekitarnya. Kekayaan bumi berupa gas, minyak, batu baru, emas, perak dan lainnya di Papua, Riau, Aceh, Kalimantan, Sulawesi dijarah dan itu dilakukan atas restu oknum dan pihak-pihak tertentu. Masyarakat di sekitar kekayaan alam itu tetap miskin, tertinggal, bodoh, dan penyakitan. Struktur alam sekitarnya rusak, akibatnya bencana alam tidak tertahankan. Jika demikian siapa yang menderita? Akhirnya wong cilik juga yang paling terkena dampaknya. Ini merupakan siksa dan azab dari Allah. 

Allah memang sengaja memberi siksa dan azab kepada kita berupa bencana alam, karena kata Muhammad Rasyid Ridla dalam tafsirnya al-Manâr (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., Cet. II, Jilid XIX, hlm. 24-25.) perbuatan syirik, khurafat, dan maksiat yang kita lakukan telah merusak tatanan masyarakat.

Coba kita renungkan bahwa kita masih suka melakukan persekutuan dengan setan, iblis, dan jin. Kita pergi ke dukun dan orang sakti. Kita percaya kepada jimat, keris, batu akik dstnya. Bagaimana Allah tidak murka? Kita melakukan maksiat yang merusak tatanan masyarakat: kita korupsi secara berjemaah, berzina, minum minuman keras, narkoba, dan judi, melakukan dosa sosial berupa ketidakpedulian kita terhadap kaum duafa dan mustadafin. Semua ini benar-benar menghancurkan sendi-sendi masyarakat. Karena itu, adalah wajar dan lazim, kata Rasyid Ridla, kita diazab oleh allah. Untuk apa? Seperti saat dulu kita kecil dipukul oleh orang tua atau guru untuk mengingatkan kesalahan yang kita lakukan, karena perbuatan ‘nakal’ yang kita lakukan. Azab itu penting dalam kehidupan pribadi dan negara, agar kita berfikir dan mengambil hikmah dari semua yang menimpa kita.

Hasan Al-Bashri, seorang ulama dan sufi agung, berkata : al-mukminu ya’malu bis shâlihâti wa huwa musyfiqun wajilun khâ’ifun wal fâjiru ya’malu bil ma’âshî wa huwa âminun. Orang mukmin itu melakukan kebaikan, tetapi selalu merasa sengsara dan takut, sementara pendosa melakukan kemaksiatan, tetapi dia merasa aman. Mungkinkah kita orang yang melakukan kemaksiatan, kesalahan, kekeliruan, tetapi kita tenang-tenang saja, seakan tak berdosa? Kalau demikian, berarti kita memang al-fajir, sang pendosa.

Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (QS. Al-A’râf/7 :97-98).

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-‘Ankabût/29 :2-3).


Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". (QS. Al-Baqarah/2 :155-6).

Meneladani Nabi Muhammad saw




Oleh: Ayang Utriza NWAY

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al-Ahzâb/33:21).”


Perayaan Mawlid

Perayaan kelahiran Nabi Muhammad saw. pertama kali dilakukan oleh Islam Syiah pada masa dinasti Fatimiyyah pada abad ke-5 H./11 M. saat khalifah Muizzuddin. Setelah dinasti Fatimiyyah jatuh, maulid Nabi tetap dirayakan oleh penggantinya yaitu dinasti Ayyubiyya yang didirikan oleh Salahuddin al-Ayyubi. Perayaan Mawlid pertama kali di dunia Islam Sunni adalah di Siria oleh penguasa Siria Nuruddin pada abad ke-6 H./12 M., lalu di Mosul, Rusia, oleh Umar al-Malla, kemudian di Mekkah, dan selanjutnya di Irbil, Irak Selatan, oleh penguasanya Muzaffaraddin Kokburi. Mawlid dirayakan secara umum di dunia Islam pada abad ke-7 H./13 M., kecuali di Afrika Hitam, perayaan mawlid baru dirayakan pada abad ke-9 H./15 M.

Alasan umat Islam pada masa lampau untuk merayakan mawlid ini, misalnya di daerah Sabtah, Maroko, oleh Abul Abbas al-‘Azafi, untuk mendorong persatuan di antara kaum muslimin, jika ingin berhasil memerangi orang-orang kafir (kristen) dan untuk menunjukkan identitas dan kebudayaan Islam untuk menggantikan perayaan-perayaan non-muslim. Sementara pada masa Salahuddin al-Ayyubi, mawlid dirayakan untuk membangkitkan semangat melawan umat Nashrani dalam perang Salib[1].

Perayaan mawlid saat ini tentu berbeda dengan umat Islam terdahulu. Kini, kita memperingati mawlid berarti menghadirkan Rasulullah di tengah-tengah kita dengan mencontoh semua teladan yang diberikan kepada kita. Oleh karena itu, sesuai dengan QS.33:21 di atas bahwa kita harus mengambil pelajaran dari semua aspek kehidupan Rasulullah. Inilah makna dari perayaan mawlid Nabi Muhammad saw.

Hukum Merayakannya 
Pada masa akhir dinasti Mamluk, abad 15, al-Suyuti mendapatkan pertanyaan mengenai hukum mawlid. Menurut Jalaluddin al-Suyuti, juga Abû Syamah, Ibnu Hajar al-Asqalâni, dan Ibnu Hajar al-Haytsami, bahwa peringatan mawlid ini adalah bidah hasanah, sesuatu yang baru, namun baik. Pertentangan mengenai hukum ini sebenarnya telah muncul dari abad ke-7 H./13 M. Menurut Ibnu Hajar, perayaan mawlid tidak pernah diadakan oleh orang-orang terdahulu yang saleh (salaf al-sâlih). Tetapi bukan berarti itu dilarang. Ini adalah bidah hasanah.

Ibn Taymiyyah (1328) menyerang keras perayaan mawlid dalam kitabnya Iqtidlâ Sirât al-Mustaqîm. Antara lain tuduhannya adalah bahwa mawlid sama dengan perayaan natal. Fatwa ketua Rabithah Alam Islâmi (pada tahun 1982) dan Saudi Arabia mengikuti fatwa Ibnu Taymiyyah sebagai bentuk bidah yang haram. Tetapi, muridnya Ibnu Katsir Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengeluarkan karya mengenai mawlid dalam bahasa Arab untuk pertama kalinya yang membolehkan peringatan mawlid tersebut[2].

Alasan di atas kita tolak keras. Karena, perayaan natal dan mawlid adalah dua hal yang sangat berbeda. Yang pertama merayakan kelahiran anak Tuhan yang menjadi bagian dari Tuhan itu sendiri, sementara yang kedua merayakan seorang anak manusia yang kemudian ditunjuk sebagai utusan Tuhan (Rasulullah). Kita tidak pernah mengkultuskan Nabi Muhammad saw. sebagai wakil Allah atau menjadi bagian dari Allah. Namun, kita menghargai dan menghormatinya dengan mengambil pelajaran dan teladan dari Nabi akhir zaman ini. Kemudian, jika dikatakan bahwa perayaan mawlid tidak pernah dilakukan oleh orang-orang saleh yang awal, ternyata menurut Mufti Afrika Selatan, M.A. Awwari, bahwa pada masa 4 Khulafaur Rasyidin sudah ada peringatan-peringatan kecil mengenai perayaan kelahiran Nabi. Bahkan, seperti kita lihat di bawah ini, Abdul Mutallib merayakan kegembiraannya saat lahir cucunya: Muhammad.

Dengan demikian, perayaan mawlid Nabi adalah sah hukumnya, diperbolehkan, dan merupakan bagian dari lambing identitas dan kebudayaan umat Islam. Inti dari perayaan ini adalah menelaah sejarah kehidupan Rasulullah dan kemudian kita ambil hikmahnya serka kita jadikan Beliau sebagai suriteladan yang baik.


Menjelang Kelahiran Rasulullah

Mekkah menjelang kelahiran Nabi adalah pusat perdagangan yang dilalui para pedagang dari Yaman di Selatan ke Syiria di Utara. Sementara perang antarsuku sejak lama terjadi dan terus berlangsung hingga Muhammad diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah. Dalam masyarakat kesukuan itulah, wanita bernilai sangat rendah. Bayi wanita dibunuh. Wanita dewasa diperlakukan seperti hewan. Di kakbah sendiri saat itu terdapat lebih dari 360 dewa dengan Hubal sebagai dewa utama. Abrahah yang hendak menguasai kakbah hancur, karena wabah penyakit yang dibawa oleh burung Ababil.

Dalam keadaan Mekkah seperti itu, sang penjaga kakbah Abdul Mutallib hendak mengorbankan anaknya Abdullah untuk para dewa. Tetapi, atas permintaan keluarga niat itu diundurkan dan diganti dengan 100 ekor unta. Kelak di kemudian hari, ia dinikahkan dengan Aminah. Dari pasangan inilah, lahir calon pemimpin umat yang diberi nama Muhammad. Pada saat itu hanya ada tiga orang yang bernama Muhammad. Ia lahir pada dini hari senin 12 Rabiul Awal tahun gajah (20 April 570 M.). Ketika Nabi lahir, kakeknya Abdul Mutallib merayakan bersama sukunya Quraisy karena kegembiraan yang sangat mendapatkan cucu lelaki.

Namun, sayang ibunya Aminah tidak dapat menyusui dan mendidiknya sendiri. Karena Mekah tidak baik untuk perkembangan anak, maka diserahkan ke pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Para pengasuh anak pada umumnya tinggal di daerah yang baik udaranya dan pergaulannya. Di Mekah udaranya buruk dan pergaulannya buruk, karena kotanya sudah menjadi kota perdagangan. Dari sini saja, kita sudah bisa mengambil hikmah dari keputusan ibu Nabi ini. Artinya, agar anak tumbuh sehat, hendaknya anak tinggal di daerah yang tidak kena polusi udara dan di lingkungan di mana pergaulan masyarakatnya masih baik berdasarkan etika dan moral serta nilai-nilai kemanusiaan.


Kelahiran dan Perkembangan Nabi

Saat persalinan, ibunda Nabi dibantu oleh Siti Maryam dan Siti Asyiah. Nabi terlahir sudah tersunat, matanya bercelak, dan dalam posisi diam merangkak. Pada usia 5 bulan, Nabi sudah bisa berjalan. Pada usia 9 bulan, sudah bisa berbicara. Pada usia 2 tahun, ia berhenti menyusu dan langsung ikut menggembala kambing.

Pada usia 6 tahun, Muhammad sudah menjadi yatim-piatu. Bapaknya, Abdullah, meninggal semasih Muhammad dalam kandungan 2 bulan dalam perjalanan dagang ke Syiria dan dikuburkan di dekat Madinah. Adapun ibunya, Aminah, meninggal saat berkunjung ke keluarganya di Madinah dan meninggal di Abwa, 37 km dari Madinah. Pesan moral dari kisah saat Nabi kecil: seorang pemimpin besar lahir dari rahim kesulitan dan penderitaan. Hikmahnya: pemimpin yang mengerti penderitaan akan memperhatikan dan berusaha membantu rakyatnya keluar dari kesulitan ekonomi, pendidikan, kesehatan dst.

Pada usia 8 tahun, kakeknya meninggal dunia dan pengasuhannya digantikan oleh pamannya Abu Thalib. Pada usia 12 tahun, Muhammad berdagang ke Syam (Syiria). Saat itulah ia bertemu dengan pendeta Buhairah yang melihatnya sebagai Nabi yang dijanjikan. Hikmahnya: berdagang adalah pekerjaan mulia, pekerjaan Nabi. Pesannya: kuasai ekonomi, kuasai perdagangan.

Pada usia 20 tahun, Muhammad mendirikan hilful fudul, lembaga yang membantu orang miskin dan orang yang teraniaya. Dan pada usia 25 tahun, beliau menikah dengan Khadijah. Kekayaan Khadijah dipergunakan untuk dakwah Muhammad, yaitu membebaskan para budak, membantu fakir-miskin, dan orang teraniaya melalui lembaganya hilful fudul. Pesannya: dirikan lembaga swadaya yang dapat membantu orang-orang papah, orang miskin, orang-orang yang dilemahkan oleh sistem dan tak diuntungkan oleh pembagian kue ekonomi negeri. Paling tidak, perhatikan kaum duafa dan mustadafin di sekitar kita.

Pada 17 Ramadan, ia menerima wahyu (6 Agustus 611 M.) sebagai tanda pengangkatannya sebagai Nabi di usianya 40 tahun[3].

Makna Ummi                            

Di dalam Alquran Allah berfirman dengan jelas bahwa akan datang nabiyy ummiy untuk umat manusia, untuk semua bangsa. Apa makna ummi di dalam ayat-ayat Alquran tersebut? Menurut Mohammed Talbi, pemikir muslim Tunisia, dalam Universalité du Coran bahwa ummi yang melekat pada diri Nabi (misalnya QS.al-A’râf/7:157-158) ‘al-nabiyy al-ummiy’ adalah bermakna goïm/goyim (jamak dari goï/goy), yaitu sebutan bagi orang bukan Yahudi oleh orang Yahudi (yang berarti kafir). Sementara Imam al-Nawawi di dalam tafsirnya Marâh Labîd menjelaskan bahwa makna umminya Nabi di sini adalah : tidak berlatih membaca dan menulis. Selain itu, ummi juga berarti tidak belajar kepada guru, tidak ada guru untuk mengajarnya.

Adapun makna ummiyyin di dalam QS. âl-‘Imrân/3:30 dan QS.al-Jumu’ah/62:2, menurut Imam al-Tabari, adalah (1) mereka yang tidak mempunyai kitab suci dan mereka itu dan (2) bangsa Arab (lihat juz 3, hlm. 143 dan juz 28 hlm. 88, Dar al-Ma’rifah, 1990). Demikian juga Ibnu Abbas di dalam tafsirnya Tafsir Ibnu Abbas menjelaskan makna ummiyyin di dalam kedua ayat tersebut adalah 1. Tidak ada kitab suci dan 2. Bangsa Arab.

Muhammad Tahir Ibn Asyur dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan dengan cukup baik bahwa ummi berarti bangsa yang belum punya kitab suci. Ini artinya Nabi Muhammad diutus untuk semua bangsa, semua umat. Penjelasan ini sesuai dengan firman Allah bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan demikian, makna ummi yang melekat pada diri Nabi berarti Nabi Muhammad berasal dari bangsa Arab, dan tentu bukan Yahudi, yaitu keturunan Ismail (nenek moyang bangsa Arab) dan bukan keturunan Ishak dan Yakub (nenek moyang bangsa Yahudi), yang diutus untuk semua bangsa dan umat.

Teladan Rasulullah

Semua sisi kisah perjalanan hidup Nabi di atas dapat diambil hikmahnya. Semua prilaku Nabi menjadi teladan baik bagi umat Islam. berdasarkan QS.33:21 di atas dan sabdanya wa mâ bu’istu li-utammima makârim al-akhlâq, tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Selain teladan dan hikmah yang bisa dipetik di atas, di bawah inilah, antara lain, akhlak (etika dan moral) Rasulullah yang harus kita teladani:

  1. Akhlak Rasulullah ketika kecil: membantu pengasuhnya mengembalakan kambing. Ia hidup dalam suasana keprihatinan. Inilah pendidikan awal seorang pemimpin. Jika seorang pemimpin terlatih prihatin, maka ia akan dekat dengan rakyatnya.
  2. Akhlak Rasulullah kepada isteri: kepada Khadijah, Aisyah dll. Ia memanggil isterinya dengan nama-nama manja dan sangat baik pergaulannya. Ia membantu isterinya dalam urusan rumah tangga.
  3. Rasulullah menikahi seorang janda yang sudah dua kali menikah. Khadijah sebelumnya telah menikah dengan Abu Halah Bin Malik dan ‘Utayyiq Bin Abid Bin Abdullah Bin Umar Bin Makhzum.
  4. Akhlak Rasulullah kepada anak-anaknya: Ruqayyah, Ummi Kulsum, Zainab, Fatimah, Qasim, Abdullah, dan Ibrahim. Ketika anaknya meninggal, ia teramat sedih. Ia sangat menyayangin anak-anaknya. Ia memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
  5. Anak tiri Rasulullah: Hindun Binti Abî Halah, Abdullah Bin Utayyiq, dan Jariyah Binti Utayyiq
  6. Akhlak Rasulullah kepada sanak-saudara dan kerabatnya: Abu Thalib, Abbas, Hamzah dll. Rasulullah sangat sedih ketika Abu Thalib meninggal dan Hamzah terbunuh dalam perang Uhud.
  7. Akhlak Rasulullah kepada sahabat-sahabatnya. Ia tidak pernah merasa paling tinggi, supramanusia. Ia sangat egaliter. Ia merasa sama saja dengan para sahabatnya. Ia tidak pernah menyalahkan para sahabatnya ketika berselisih. Ia sosok pemimpin yang demokratis.
  8. Akhlak Rasulullah kepada non-muslim. Ia menghormati non-muslim. Ia berdiri ketika jenazah non-muslim lewat. Ia mengunjungi non-muslim yang menjahatinya ketika ia sakit. Ia tidak pernah dendam kepada para pamannya yang non-muslim. Malah ia berbuat baik.

NB.
Bahan ceramah "Hikmah Mawlid Nabi Muhammad saw." di KBRI Paris, Sabtu 19 Februari 2011.



[1] Lihat pembahasan paling lengkap mengenai perayaan kelahiran Rasulullah Nico Kaptein, Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad saw., Jakarta : INIS, 1994.

[2] Baca lebih lanjut Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Bandung :Mizan, 1999.

[3] Ibn Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Beirut:Dâr al-Khary, 1416 H./1995 M. jilid I, Ensiklopedi Islam, bab Nabi Muhammad saw., Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, jilid III, Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta:Tintamas, 1984 terutama bab III dan IV, Schimmel, op.cit., bab VIII.

Empat Golongan Yang Dimurkai Allah di Bulan Ramadhan

Abu Layts al-Samarqandi meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas ra.: “Ketika malam laylatul qadar, malaikat disuruh turun ke bumi untuk mengunjungi semua hamba Allah dan menyalami mereka.  Allah memberi mereka rahmat dan memaafkan kesalahan mereka kecuali 4 golongan,” yaitu:

  1. mud min khamrin : peminum khamar (semua jenis minuman yang memabukkan).
  2. âqun liwâlidayhi : pendurhaka kepada kedua orang tua
  3. qâti’ al-rahimi : orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan
  4. musyâhin: orang yang memboikot, yaitu orang yang tidak bicara kepada tetangganya lebih dari 3 hari (termasuk di dalamnya orang dekat yang kita kenal seperti teman sekolah, teman kantor, teman belanja, teman jalan-jalan, dstnya.).

Ayang Utriza NWAY

Sumber: Tanbihul Ghafilin

Meraih Surga Dengan Lima Hal



 Oleh : Ayang Utriza NWAY



Siapa yang ingin mendapatkan surga dan kenikmatannya, maka harus melanggengkan dan melestarikan 5 perbuatan:

  1. an yamna’a nafsahu min jamî’i al-ma’âsi: menahan hawa nafsu dari berbuat maksiat (QS. 79:40 dan  41 : wa nahan nafsa anil hawa / fainnal jannat hiyal ma’wa) 
  2. an yardo bil yasîr minad dunyâ: ia rela dengan kesederhanaan di dunia (man arâdal akhirat taraka zinatad dunya, barang siapa yang mau surga, meninggalkan kemewahan dunia. Anna samanal jannati tarkud dunya, harga surga adalah tidak rakus pada dunia.)
         Sabda Rasulullah: “siapakah orang yang sabar dan syukur itu?” Orang yang dinamakan sabar dan syukur ialah orang yang dalam urusan agama selalu melihat ke atas, yaitu orang yang lebih saleh dan baik, sementara dalam urusan dunia, mereka selalu melihat ke bawah, yaitu orang-orang miskin. Sebaliknya mereka yang tidak sabar dan syukur adalah mereka yang dalam urusan agama selalu melihat ke bawah, yaitu orang-orang yang jauh dari Allah, sementara dalam urusan dunia, mereka selalu melihat ke atas, yaitu orang-orang kaya.

     3. an yakûna harîson alat tô’ati: rajin dan taat mengerjakan kebaikan-kebaikan. Karena mungkin di     antara amal kebaikan yang kita lakukan akan memasukkan kita ke dalam surga dan menyebabkan pengampunan dosa. (QS. Al-A’raf/7:43). Beberapa contoh:

  •  Imam al-Ghazali masuk surga bukan karena amal ibadahnya banyak, bukan karena karya-karyanya yang banyak dan bermanfaat bagi orang banyak, tapi karena ia membiarkan seekor lalat meminum tinta di ujung penanya, lalu al-Ghazali membiarkan si lalat itu minum tintanya hingga puas, karena inilah Gazali masuk surga.
  • Seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing yang kehausan di gurun pasir masuk surga berkat keikhlasannya.  

       4. an yuhibbas salihin wa ahlal khayri wa yukholituhum wa yujalisuhum: mencintai orang-orang saleh dan orang-orang baik dengan bergaul dan berada di tengah mereka. Kawan yang baik dan saleh akan dapat menolong atau memberikan syafaat di hari kiamat. Hadis rasul: fainna likulli akhin syafâ’atun yawmal qiyâmat: setiap teman itu ada syafa’atnya kelak di hari kiamat.

          5. an yuksirod du’â wa yas’alul allaha ta’ala an yarzuqohul jannat wa an yaj’ala khôtimatahu ila khoyrin. Memperbanyak doa dan memohon kepada Allah masuk surga dan meninggal dalam keadaan husnul khotimah.

Anas bin Malik dari Rasulullah bersabda “barang siapa yang berdoa kepada Allah agar masuk surga, sorga pun berdoa untuknya: allahumma adkhilhul jannah, ya allah masukkanlah ke dalam surga, dan barang siapa yang memohon kepada Allah agar tidak masuk neraka, neraka pun berdoa baginya allahumma ajirhu minan nâr, ya Allah bebaskanlah ia dari neraka.




Sumber:
  1. Abu Layts al-Samarqandi, Tanbîh al-Ghâfilin, hlm. 27.
  2. Muhammad Umar Nawani al-Bantani, Syarh Nashâihul ‘Ibad, Surabaya : Sahabat Ilmu, hlm. 2.

Saturday 6 August 2011

Makna Mawaddah Wa Rahmah dalam Pernikahan

Oleh:  Ayang Utriza NWAY

«Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir» (QS. al-Rûm/30:21).

Berbagai Tafsir atas QS.30:21

Menurut Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’âlim al-Tanzîl (h.1005) bahwa Allah menciptakan dari jenis manusia sendiri, yaitu anak keturunan Adam. Dikatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah menciptakan rasa kasih dan sayang antara kedua orang ini. Mereka saling mencintai sementara mereka berasal dari rahim yang berbeda. Maksudnya dari 2 keluarga yang berbeda.

al-Suyûthî dalam al-Durr al-Mansur Fi al-Tafsîr Bi al-Ma’sûr (vol. 6/hlm. 431-432) meriwayatkan dari Qatadah bahwa Allah menciptakan perempuan dari jenis lelaki. Artinya Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.

al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kassyâf (h. 827) menulis bahwa Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Allah menjadikan kasih dan sayang di antara sepasang suami isteri, karena sebelumnya mereka tidak kenal, tidak pernah bertemu, tidak ada sebab. Namun dengan izin Allah, lelaki dan perempuan dapat menikah setelah proses alamiah, seperti pertemuan atau sebab yang tak terduga.

Makna Mawaddah dan Rahmah

Menurut Hasan r.a., sebagaimana dikutip al-Zamakhsyari, bahwa kata al-mawaddah adalah bentuk kinâyah (ungkapan halus) dari kata jimak (persetubuhan), dan rahmah adalah bentuk kinâyah dari kata walad (anak). Jadi, makna mawaddah adalah jimak dan rahmah adalah anak.

Artinya, Allah menjadikan pernikahan sebagai sarana halal untuk melakukan hubungan suami-isteri. Dengan hubungan seksual tersebut, maka rasa cinta tersalurkan, dan akan terus saling menyayangi. Dari mawaddah ini, atau hubungan seksual ini, lahirlah anak-anak yang lucu. Anak-anak inilah sebagai rahmat bagi kita.

Mengapa Allah menggunakan kata rahmah yang berarti sayang ? Sebab kita sangat menyayangi anak-anak kita. Kehadiran anak-anak juga akan memperkuat kasih sayang kita. Anak-anak akan menjadi pemersatu dan pengikat yang lebih kuat bagi pasangan suami-isteri.

Nikah adalah Sunah Nabi

Dari Anas Bin Malik meriwayatkan ada tiga orang lelaki yang datang kepada Nabi dan menanyakan kualitas ibadah Nabi. Mereka berkata alangkah jauhnya kualitas ibadah mereka dengan Nabi. Akhirnya, masing-masing lelaki itu berjanji, yang satu berkata akan terus berpuasa, yang satunya lagi mengatakan akan salat malam tanpa henti, dan yang terakhir mengatakan tidak akan menikah selamanya.

Mendengar itu, Nabi berkata : «Aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan saya menikahi perempuan, barang siapa yang tidak suka dengan sunahku, maka tidak termasuk golonganku (wallahi inni la’akhsyâkum lillahi wa atqâkum lahu, lakinnni ashûmu wa ufthiru, wa ushalli wa arqudu, wa atazawwaj al-nisâ, faman raghiba ‘an sunnatî falaysa minnî)(HR. Bukhari dalam Mukhtashar Sahih al-Bukhari oleh Imam al-Zabidi, hadis yang ke. 1828).