Friday 2 September 2011

Takwa Pribadi dan Publik di Bulan Syawwal

Oleh: Ayang Utriza NWAY   
...
Bulan Ramadan baru saja berlalu dari kita. Puasa yang telah kita jalani harus meninggalkan nilai yang berharga di dalam diri kita dan menjadi pedoman dan pegangan hidup. Nilai itu bernama takwa yang tak lain adalah tujuan akhir dari puasa, la’allakum tattaqûn. Takwa yang bersemayam di dalam hati kita inilah yang menyinari dan membimbing kita selama 11 bulan yang akan datang. Di bulan Syawwal ini, takwa itu selayaknya terus meningkat sebab syawwal secara bahasa berarti peningkatan. Takwa yang meningkat di dalam diri kita, setelah menjalani 1 bulan ramadan, harus terjabarkan dalam konteks kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat.

Dalam konteks kehidupan pribadi, takwa adalah mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah lahir dan batin, merasakan kebesaran Allah, kewibawaan Allah, takut kepada Allah, dan cemas kepada Allah. Takwa berasal dari kata waqâ artinya menahan, mana’a. Jadi, takwa mana’a nafsahu min syahwatihi, berarti menahan semua nafsu syahwatnya, antara lain nafsu makan. Takwa menyuruh kita memperhatikan apa yang kita makan. Jangan kita makan sembarang makanan. Jangan makan dari uang yang berasal harta haram hasil dari tipu-tipu dan korupsi. Jangan jadikan perut kita kuburan orang-orang miskin. Jangan biarkan dahaga kita meraup keuntungan dengan cara menyengsarakan rakyat. Kekang keinginan kita menindas orang lain. Takwa mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan apa yang kita makan dan dari mana muasal uang yang kita belanjakan itu. Hasan al-Bashri menggambarkan seorang yang memiliki ketakwaan yang sebenar-benarnya adalah, antara lain: semakin berkuasa, semakin bijak dan tidak mengambil yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain.

Rasulullah bersabda ketika selesai melakukan tawaf, waktu Futuh Makkah (penaklukkan kota Mekkah), “Ya ayyuhan nâsi innaman nâsu rajulâni: mu’minun taqiyyun karîmun ‘ala Allahi, wa fâjirun syaqiyyun hayyinun ‘ala Allahi.” Wahai manusia ada 2 golongan manusia: mukmin, bertakwa, dan mulia di sisi Allah dan pendosa, susah, dan hina di hadapan Allah (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud). Semoga kita termasuk kategori pertama, sehingga kehidupan kita bermanfaat untuk isteri, anak, keluarga, dan negara kita.

Takwa, yang merupakan tujuan dari puasa ini, juga berkait erat dengan pengejawantahannya dalam konteks kehidupan masyarakat. Takwa dalam konteks kehidupan publik adalah menerima keragaman Indonesia dan berlomba dalam mencapai kebaikan demi tegaknya marwah negara dan bangsa. Indonesia merupakan negeri dengan puluhan ribu pulau, ratusan bahasa dan dialek, ratusan suku, puluhan agama lokal, 6 agama yang diakui. Keanekaragaman ini adalah anugerah Allah swt. yang diberikan kepada penduduk negeri zamrud khatulistiwa. Harus disadari bahwa perbedaan yang luar biasa ini adalah suatu yang alamiah, Allah swt. berfirman:

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurât/49 :13).


Berdasarkan ayat di atas, kita akan menjadi manusia seutuhnya jika bisa berhubungan antarmanusia dengan latar belakang yang berbeda itu. Kita diperintahkan untuk saling mengenal (lita’ârafû) sesama manusia tanpa melihat SARA (suku, agama, dan ras). Dengan perbedaan itu, Allah menegaskan bahwa yang paling mulia, di antara kalian, adalah yang paling bertakwa. Takwa dalam konteks publik berarti orang yang mampu menunjukkan kualitas kebaikan yang maksimal bagi kesejahteraan orang banyak. Semakin bermanfaat orang tersebut bagi kebanyakan orang, berarti semakin tinggi nilai takwa yang dimilikinya. Karena, manusia yang terbaik adalah manusia yang paling berguna untuk manusia, sabda Rasulullah saw. (khayrun nâsi anfa’uhum linnâsi). 

Kerjasama antarumat manusia tanpa melihat latar belakang agama, etnisitas dan kelompok adalah tujuan yang dianjurkan dalam Islam, agar setiap individu ataupun kelompok saling berlomba dalam kebajikan untuk membangun dunia yang lebih ramah, untuk membangun Indonesia yang lebih maju, seperti firman Allah di dalam:

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah/2:148.

Dengan demikian, keragaman Indonesia harus menjadi faktor pemersatu untuk kemajuan ketimbang faktor pemecahbelah. Dengan takwa, kita berlomba-lomba berbuat yang terbaik bagi kehidupan bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Dengan ketakwaan yang tercermin dalam diri kita dan dalam kehidupan publik, maka rasa persaudaraan antarumat Islam seharusnya semakin kuat. Oleh karena bangsa Indonesia ini adalah mayoritas umat Islam, dengan demikian jika kuat umat Islam, maka kuatlah bangsa Indonesia. Jika jaya umat Islam, jayalah bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dalam membangun negara dan bangsa ini. Sejarah Indonesia adalah sejarah umat Islam. Dengan demikian, sumber perpecahan umat Islam harus segera dihentikan. Sebab, jika tidak, hal tersebut akan membuat negara kita terus dalam, dalam bahasa Prancis, cul-de-sac politique et impasse économique, kemacetan politik dan kebuntuan ekonomi.
Sumber perpecahan umat Islam berasal dari orang-orang bermental khawarij. Siapakah khawarij ini? Khawarij adalah mereka yang berpegang teguh pada teks-teks formal Alquran, mereka rajin menjalankan ibadah ritual mereka, tetapi kaku dalam ibadah sosial, dan mereka rajin ibadah, tetapi tega mengkafirkan orang lain sesama muslim bahkan membunuhnya, karena beda pendapat. Sudahlah cukup apa yang terjadi di tahun-tahun yang telah berlalu, ke depan kita yakinkan bahwa kita semua adalah bersaudara, jika bersaudara tidak ada lagi rasa untuk saling menyakiti, karena Allah swt. berfirman:

Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Dengan bekal takwa dari Ramadan yang baru kita jalani, maka kita tegakkan persatuan Islam yang merupakan salah satu resep untuk kemajuan Islam, menurut Jamaluddin al-Afghani. Maju Islam di Indonesia, dalam arti penduduknya terdidik dengan baik, memiliki pekerjaan yang baik, ketimpangan sosial semakin kecil, maka dengan sendirinya bangsa Indonesia akan maju.  Persaudaraan antarumat Islam dan antara sesama anak bangsa akan gagal jika: tidak ada iktikad baik kedua belah pihak dan kepentingan politik didahulukan ketimbang kepentingan agama.

Pada akhirnya, semoga di bulan Syawwal ini, ketakwaan yang menjadi tujuan dari puasa meningkat dalam diri kita, sehingga kualitas ibadah diri dapat meningkat yang berdampak pada kualitas keluarga dan masyarakat kita. Dengan demikian, pesan moral dari puasa benar-benar telah tercapai. Sebagai penutup, ada cerita dari yang menarik: suatu ketika Rasulullah dilaporkan bahwa ada seorang perempuan yang selalu puasa di siang hari dan salat tahajud ketika malam (tashûmu nahâran wa tushallî layaliyan), tapi ia sering menyakiti hati tetangganya (walâkin tu’zî jâraha). Rasul mengatakan bahwa tempat perempuan itu di neraka (hiya fi al-nâri). Puasa tidak mempunyai arti apapun bagi perempuan itu, karena ia tidak menangkap pesan moral ibadah puasa. Jangan sampai puasa yang baru kita jalani tidak memiliki arti apa-apa, seperti perempuan itu. 

No comments: