Khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. di KJRI Marseille
Oleh: Ayang Utriza NWAY
Allahu akbar, Allahu akbar, wa liLlahi hil hamd,
Bapak, Ibu, Saudara/i yang berbahagia dalam keadaan fitrahnya.
Setelah satu bulan penuh kita menjalankan puasa Ramadan, Alhamdulillah, pada hari ini kita memasuki Idul Fitri 1 Syawwal. Semua umat Islam di dunia merayakan hari raya yang agung ini dengan penuh suka cita. Kita bergembira, karena pada hari ini kita kembali suci (idul fitri) seperti bayi yang baru terlahir dari rahim kedua orang tua kita. Allah telah mengampuni dosa kita semua, jika kita benar-benar menjalankan puasa yang baru saja kita lalui, sebagaimana sabda Rasulullah saw. man sâma ramadâna îmânan wahtisâban gufira lahu ma taqaddama min zanbihi (Barang siapa yang berpuasa dengan keimanan dan muhasabah/introspeksi diri, maka dosa-dosa yang lalu diampuni). Keadaan suci tanpa dosa itu terus bertahan pada diri kita pada 11 bulan ke depan, jika kita dapat menjaga kesucian tersebut.
Qanaah: Merasa Cukup
Salah satu cara menjaga kesucian itu adalah dengan menjaga sifat qanaah (merasa cukup) dalam kehidupan kita. Qanaah (merasa cukup) adalah salah satu sifat yang terdapat di dalam kata TAQWA yang menjadi tujuan dari puasa Ramadan tersebut.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah/2 :183)
Kata TAQWA di ujung ayat tersebut terdiri dari huruf Ta, Qaf, Waw, dan Ya. Dari setiap huruf ini memiliki makna. Ta berarti tawaduk (rendah hati), Qaf berarti qana’ah (merasa cukup), Waw berarti wara’ (menjaga diri dari sesuatu yang haram), dan Ya berarti yakin (keyakinan kepada Allah swt. akan rahmat, hidayat, inayah dan taufiknya). Dengan latihan selama berpuasa Ramadan selama sebulan penuh, maka benih sifat qanaah sudah tertanam dalam diri kita yang selanjutnya harus kita jaga. Qanaah merupakan salah satu akhlak yang ingin dicapai oleh puasa Ramadan.
Allahu akbar, Allahu akbar, wa liLlahi hil hamd,
Bapak, Ibu, Saudara/i yang sedang memperindah jalan kehidupan.
Qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tiada. Qanaah adalah kepuasaan jiwa terhadap rezeki yang diberikan. Qanaah adalah meninggalkan keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan kepada apa yang dimiliki[1]. Rasulullah saw. bersabda: al-Qanâ’ah kanzun la tafnâ (Qanaah, yaitu menerima pemberian Allah, adalah harta yang tidak pernah sirna) (HR. Thabrani dari Jabir).
Dengan sifat qanaah (merasa cukup) dapat membentuk pribadi-pribadi yang mempesona, yaitu mereka yang dapat berpuasa dari pola hidup konsumtif dan pola pikir materialis. Puasa Ramadan yang kita lakukan seharusnya menjadi jalan pengindah bagi hidup ini melalui sifat qanaah tersebut, yaitu sifat merasa cukup. Tetapi, anehnya, seminggu menjelang hari raya Idul Fitri, umat Islam berbondong-bondong ke pusat-pusat perbelanjaan. Umat Islam sibuk mempersiapkan dirinya dengan baju baru dan makanan-minuman untuk hari raya. Karena itu, pengeluaran selama bulan Ramadan lebih meningkat daripada bulan-bulan yang lain, terlebih menjelang hari raya. Bukankah ini sifat yang bertentangan dengan qanaah (merasa cukup) yang merupakan salah satu tujuan akhlak yang ingin dicapai oleh puasa?
Jika sudah demikian, di manakah arti puasa yang kita jalankan selama sebulan penuh? Jangan-jangan kita termasuk golongan yang disabdakan oleh Rasulullah saw. kam min sâ’imin laysa lahu min siyâmihi ila al-jû’ wa al-‘atsy (berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapat apa-apa, kecuali haus dan lapar). Gegap gempita puasa yang ada di mana-mana dari masjid hingga televisi, dari kota hingga desa, hanya menjadi kesalehan sesaat, jika tidak berbekas setelah bulan Ramadan. Oleh karena itu, sebelas bulan mendatang hingga Ramadan yang akan datang menjadi batu ujian bagi kita : apakah sifat qanaah (merasa cukup) benar-benar membekas di dalam hati kita atau tidak.
Sikap merasa cukup ini sangat penting di masa sekarang. Sebab, kehidupan materialistis selalu mendorong kita semakin jauh dari Allah. Kehidupan masa kini menciptakan kita menjadi pribadi-pribadi konsumtif yang siap membeli apa saja yang diiklankan di televisi dan koran. Kita menjadi terasing. Kita tak lagi mandiri menentukan pilihan dan mengatur hidup ini. Kita diatur oleh ruh zaman yang ditandai dengan pola pikir yang serba kebendaan (materialistis) dan serba kesenangan yang menjadi tujuan hidup (hedonis). Sifat dan sikap seperti ini akan mengantarkan kita menjadi orang-orang yang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Ambillah satu contoh. Kalau kita bekerja sebagai PNS dengan gaji yang menurut ukuran kita tidak cukup atau pas-pasan, ya jangan dipaksakan hidup dengan gaya orang kaya. Syukurilah dengan pendapatan yang ada. Coba perhatikan sekeliling kita, betapa banyak orang yang tidak bekerja dan kurang beruntung dibandingkan dengan kita. Kalau mau mendapatkan penghasilan tambahan, carilah dengan cara apapun yang halal dan baik. Bukan sebaliknya, karena dorongan lingkungan sekitarnya dan melihat gaya hidup orang-orang dengan penghasilan tinggi, akhirnya mengambil yang bukan haknya.
Jika bekerja sebagai pegawai swasta dengan posisi apapun atau wiraswasta dengan usaha apapun, kalau mengerjakannya hanya untuk meraih laba dan keuntungan dengan cara apapun dan karena terdorong oleh zaman, maka jalan pintas sering dilakukan walaupun haram dengan jalan menyogok agar urusan cepat dna mudah misalnya. Sebenarnya, bukan untung yang diperoleh, petaka yang didapat. Alih-alih ingin mendapatkan keuntungan, sebenarnya kita sudah ikut menanam benih berbuat korupsi secara berjemaah. Jadi, ketamakan jiwa untuk memperoleh harta dengan cara apapun tanpa mengindahkan norma dan etika keagaman adalah akibat dari tidak adanya sifat qanaah di dalam diri kita.
Allahu akbar, Allahu akbar, wa liLlahi hil hamd,
Bapak, Ibu, Saudara/i yang berada dalam kebeningan rasa
Tanpa sifat qanaah, kita akan merasa gelisah dan sedih karena mata selalu mengejar apa yang dimiliki orang lain. Betapa sempitnya pikiran kita, betapa pengapnya hati kita, jika kesuksesan orang lain, jika kekayaan orang lain selalu dilihat dengan mata iri dan dengki. Hati tidak akan pernah tenteram dan tenang, jika kita menginginkan apa yang orang lain miliki. Akibatnya timbul sifat rakus. Dengan kerakusan, kita akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Jika sudah demikia, maka kita sedang membuat neraka di dunia. Kita telah membuat neraka perasaan bagi diri sendiri kita.
Semoga dengan qanaah ini, kita menjadi lebih baik, lebih bersih hatinya, dan lebih bersih dari kemunafikan. Puasa yang benar harus menghasilkan ketenangan dan keteguhan. Hal ini hanya dapat diraih dengan menjaga sifat qanaah di dalam hati kita. Kalaulah qanaah menjadi sikap dan cermin hidup setiap kita, maka akan tercipta Indonesia yang damai dan ramah, jauh dari KKN. Marilah kita mulai dari diri kita sendiri, di mulai dari sekarang dengan menanamkan sifat qanaah. Dengan qanaah, hati menjadi tenang. Qanaah mendidik kita memiliki jiwa yang tenang (nafs al-muthma’innah). Karena, salah satu karunia Allah yang maha besar adalah ketenangan hati. Jika jiwa sudah tenang, surga adalah imbalannya: bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Allahu akbar, Allahu akbar, wa liLlahi hil hamd,
Bapak, Ibu, Saudara/i yang berada dalam berkat dan kasih Allah.
Memaafkan
Sifat lain yang harus menghiasi diri kita yang tengah merayakan kesucian kita adalah sifat pemaaf. Memaafkan orang lain yang telah berbuat salah kepada kita, sebagaimana firman Allah swt.
Memaafkan itu memang berat sekali. Bagaimana tidak, setelah hati kita tersakiti oleh perkataan atau perbuatan orang tersebut, kemudian kita diminta untuk memaafkan, tentu kita sulit sekali melupakan perbuatannya dan sulit memaafkannya. Ini bukan suatu hal yang mudah. Butuh tenaga untuk memaafkan kesalahan orang yang telah menyakiti hati kita. Tetapi, justeru, dengan memaafkan kita menjadi manusia bebas, manusia yang tak terbelenggu dengan perasaan marah terus menerus.
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak memaafkan , niscaya tidak akan mendatangi telagaku di akhirat“ (HR. Al-Hakim). Nabi saw. juga bersabda “Barangsiapa yang tidak mau memberi ampun kepada orang, maka ia tidak akan di beri ampun“ (HR Ahmad dari Jabir bin Abdullah ra).
Orang pemaaf adalah salah satu ciri orang bertakwa. Dan takwa ini adalah tujuan dari puasa seperti dinyatakan di dalam QS. al-Baqarah/2:183. Allah memberikan pahala yang luar biasa besarnya bagi sang pemaaf berupa surga seluas langit dan bumi, sebagaimana firman Allah swt. :
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui (QS. Alu ‘Imrân/3:133-135)
Sang pemaah adalah akhlak termulia sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. kepada Uqbah: “Wahai Uqbah, maukah engkau kuberitahukan tentang akhlak penghuni dunia akhirat yang paling utama? “Apa itu wahai Rasulullah?. “Yaitu mereka yang menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang yang menahan pemberiannya kepadamu, memaafkan orang-orang yang pernah menganiayamu“ (HR. Al-Hakim dari Uqbah bin Amir Al-Juhani).
Bapak, Ibu, Saudara/i yang saling memuliakan,
Coba bayangkan kalau kemarahan menjadi sifat kita, kemarahan dipupuk di dalam hati kita, maka kita akan mudah tersinggung oleh hal-hal yang sepele. Hanya orang yang rendah yang mengurusi hal-hal remeh-temeh. Hanya orang kecil yang diperkecil oleh masalah-masalah kecil. Alangkahnya sempit dunia ini dengan hati pemarah. Semakin tinggi kemarahan kita, semakin rendah kualitas pemaaf kita. Semakin besar kualitas pemaaf kita, maka semakin tinggi kesabaran kita. Marah bergaris lurus dengan dendam, seperti sabar bergaris lurus dengan maaf.
Orang yang marah itu hidupnya tidak tenang. Hati pemarah dipenuhi dengan dendam dan pikiran-pikiran kotor dan jahat. Sekali tersinggung, maka tiada kata maaf. Hati belum puas rasanya hingga ia melihat orang yang dibencinya itu menjumpai marabahaya. Otaknya berfikir keras bagaimana menjatuhkan teman kantornya, tetangga rumahnya, atau saudaranya. Di kantor, misalnya, sebenarnya kita ingin buang air kecil, tetapi akhirnya harus ditahan, karena ada orang yang kita benci. Di rumah, kita harusnya jalan lewat jalan yang terdekat, tetapi milih jalan yang memutar dan jauh, hanya karena ada tetangga yang kita benci. Aduh, alangkah tersiksanya, hati yang penuh dengan marah dan dendam. Alangkah beratnya harus membawa-bawa marah dan menggendong dendam ke mana-mana.
Sebaliknya, hati pemaaf itu nikmat sekali. Hatinya akan terus lapang, karena tidak ada kemarahan yang tersisa dan tersimpan di dalam hatinya. Orang pemaaf itu adalah manusia yang bebas sesungguhnya. Tidak ada ganjalan di dalam hati. Orang pemaaf itu jiwanya ringan dan tidak ada beban. Orang yang suka memaafkan itu akan mudah dimaafkan orang. Rasulullah bersabda “Barangsiapa memaafkan, saat dia mampu membalas, maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan“ (HR Ath-Thabrani). Memaafkan itu juga menyembuhkan diri kita.
Rasulullah bersabda “Jika hari kiamat tiba, terdengarlah suara panggilan, “Manakah orang-orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya?” Datanglah kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu. Telah menjadi hak setiap muslim untuk masuk surga, jika ia memaafkan kesalahan orang lain,.” (HR Adh-Dhahak dari ibnu Abbas ra.)
الله أكبر بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم. ونفعنى وإيّاكم بتلاوته إنه هو الذكر الحكيم. فاستغفروا الله يغفرلكم إنّه هو البر الرحيم.
[1] Imam Qusyairi, Risalatul Qusyairiyyah, Surabaya : Penerbit Ilmu, hlm. 174-5.
No comments:
Post a Comment