Friday 28 October 2011

Hukum dan Tata Cara Berkuban

Oleh: Ayang Utriza NWAY


A.    Fikih Syafi’i

·         Hukum berkurban adalah sunah muakkad (amat dianjurkan) terutama bagi yang mampu secara keuangan menurut mazhab Syafi’i.
·         Riwayat Anas ra. bahwa Rasulullah saw. menyembelih dua ekor domba, sementara dua sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar dan Umar, tidak menyembelih kambing, karena mereka kuatir jika mereka melakukannya, umat akan menganggap bahwa kurban itu wajib.
·         Kurban dilaksanakan setelah salat dan khutbah Idul Adha.
·         Jenis hewan yang dikurbankan adalah kambing, sapi, kerbau atau onta.
·         Hewan yang dikurbankan harus binatang yang keadaannya sehat.
·         Penyembelihan hewan boleh dilakukan di rumah atau di masjid.
·         Tidak boleh memotong kurban sebelum salat dan khutbah Idul Adha.
·         Waktu menyembelih kurban adalah 10-13 Zulhijjah, yaitu selama hari tasyrik, hingga sore akhir hari tasyrik. Rasulullah saw. Bersabda “kullu ayyâmi tasyriq, ayyâm zabhin.” (Semua hari taysrik adalah hari untuk menyembelih hewan kurban) (HR. Jubayr Ibn Muth’im).
·       Saat berkurban Rasulullah menyembelih 2 domba yang bagus dan bertanduk. Rasulullah menyembelih domba-domba itu dengan tangannya sendiri sambil mengucapkan basmalah dan takbir serta kakinya menginjak leher domba tersebut (Hadis dari Anas ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

 Sumber bacaan:
1.      Imam al-Syâfi’i, al-Umm, juz II, hlm. 289.
2.      Imam al-Syirâzî, al-Muhazzab, Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Araby, 1994, juz I, hlm. 317.
3.      Imam al-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhazzab, Dâr al-Fikr, 1996, juz 8, hlm. 275.


B.     Fikih Hanafi

·         Hukum berkurban adalah wajib menurut Mazhab Hanafi (Abu Hanifa), sementara menurut muridnya Abu Yusuf adalah sunnah.
·        Abu Hanifah berpendapat kurban itu wajib berdasarkan hadis Nabi saw. “Katabtu al-‘udlhiyyat, wa lam tuktab alaykum.” Artinya: “Diwajibkan atasku berkurban dan tidak atas kalian.” Penting diinformasikan di sini bahwa Nabi saw. diwajibkan atas tiga hal, sementara umatnya tidak, yaitu: kurban, salat dhuha, dan salat witir.
·         Menurut al-Sarakhsi, ulama besar mazhab Hanafi, bahwa hukum kurban wajib itu berdasarkan QS. al-Kawtsar ayat 2 «Fasalli lirabbika wanhar.» (maka salatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah) dan hadis Nabi saw. «Man wajada sa’atan wa lam yudhahhi, fala yaqrabanna mushallânâ. » (barang siapa yang mendapat kesempatan (rezeki) untuk berkurban, tetapi tidak melakukannya, maka janganlah mendekati masjid kami).
·         Oleh karena itu, menurut Mazhab Hanafi, sebagaimana dikatakan oleh al-Sarakhsi, bahwa berkurban itu wajib, tetapi bukan fardlu.
·         Fardlu atau maktub adalah kewajiban yang jika mengingkarinya maka menjadi kafir, seperti salat, puasa, haji dstnya.
·         Wajib adalah kewajiban, namun jika mengingkarinya tidaklah kafir, seperti kurban.
·         Jadi, menurut mazhab Hanafi berkurban itu hukumnya wajib.

Sumber bacaan:
Imam al-Sarakhsi, al-Mabsût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz 12, hlm. 8

Saturday 22 October 2011

Makna dan Pesan Simbolik Haji


oleh: AYANG UTRIZA NWAY

Saat ini ratusan ribu orang Indonesia tengah menunaikan ibadah haji. Mereka tengah melaksanakan rentetan terpenting ibadah haji yang terdiri dari rukun dan wajib, yaitu ihram dan mengambil niat di miqat, wukuf di Arafah, bermalam (mabit) di Muzdalifah, bermalam di Mina, melontar jumroh, dan diakhiri dengan tawaf dan sa’i ifadah lalu ditutup mencukur rambut (tahallul) sebagai tanda tuntasnya pelaksanaan haji. Alangkah indahnya jika jamaah haji mengerti secara sungguh-sungguh makna dari semua tahapan dan gerakan haji yang mereka lakukan. Ali Syariati (1997) dalam karya monumentalnya tentang “Haji” menjelaskan secara filosofis makna simbolik dari semua gerakan haji tersebut.

Di miqat (tempat mengambil niat haji) kita melepaskan pakaian kita, dan diganti dengan kain ihram. Pakaian melambangkan pola, preferensi, status dan perbedan-perbedaan tertentu. Pakaian menunjukkan ‘batas’ antara sesama manusia. Pakaian menjadi penanda antara “kita” dan “mereka.” Pakaian adalah citra dan lambang ego kita. Pakaian dapat menipu orang. Inilah yang kita harus lepas. Pakaian yang selama ini menjadi topeng kita, harus dilepaskan. Kita tanggalkan semua sifat buruk yang kita miliki.

Kita yang wujudnya manusia, setelah menjalani proses kehidupan, mungkin, telah berubah menjadi binatang. Kita menjadi srigala, tikus, anjing dan domba. Srigala melambangkan kekejaman dan penindasan, tikus melambangkan kelicikan, anjing melambangkan tipu daya dan domba melambangkan penghambaan. Di miqat inilah kita tanggalkan sifat kebinatangan kita tadi, dan diganti dengan kain kemanusian, yaitu ihram.

Ihram ialah dua helai kain putih bersih. kain ihram ini mencerminkan pesan bahwa kita memakai pakaian yang sama dengan orang lain. Artinya, kita semua adalah sama di hadapan Allah. Tidak ada yang membedakannya, kecuali ketakwaan yang ada di dalam hati. Kain ihram juga mencerminkan kesederhanaan dan tidak riya, yaitu sifat suka pamer kelebihan yang kita miliki. Warna kain ihram yang putih menggambarkan bahwa kita harus memiliki hati yang putih bersih seperti kaih ihram itu. Kita harus menjadi putih bersih seperti tatkala kita lahir. Karena itu diharapkan, setelah pulang haji, jamaah haji akan bersih dari dosa-dosanya seperti putihnya kain ihram.

Kata ihram, yang berasal dari kata yang sama dengan haram, berarti sejak dikenakannya pakaian ihram, kita mengharamkan semua prilaku yang tidak baik dan merusak. Ihram berarti, meminjam istilah Ziauddin Sardar, state of peace, keadaan damai. Kita berdamai dengan manusia, binatang bahkan alam raya. Karena itu ada larangan yang berlaku setelah mengenakan kain ihram, yang dikenal dengan istilah muharramat, seperti membunuh binatang, mencabut pepohonan dan bertengkar dan bermusuhan antarsesama. Setelah berada di miqat dan mengenakan kain ihram, maka jamaah mengucapkan niat haji dan bersiap berangkat ke Arafah untuk wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Wukuf di Arafah mengandung dua pesan. Pertama, wukuf, dalam bahasa Arab, berarti berhenti. Maksudnya, mulai tanggal 9 Dzulhijjah, kita berjanji untuk berhenti dari perbuatan maksiyat. Berhenti dari melakukan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah. Berhenti membicarakan keburukan orang lain. Berhenti menggunjing kejelekan sesama muslim. Berhenti dari semua perbuatan tercela seperti korupsi, memeras orang, mengambil hak orang lain, mencuri, membunuh, menyebarkan fitnah dan kebencian. Kita berhenti sejenak untuk berfikir (arafah).

Arafah, dalam bahasa arab, berarti pengetahuan atau ilmu. Arafah juga bermakna berfikir, memahami, dan merenung. Dengan berhenti di padang tandus yang gersang itu, kita merenung bahwa seperti inilah kita di padang Mahsyar pada hari perhitungan (yawm al-hisâb) nanti, setelah hari akhir (yawm al-qiyamah). Kita merenung dari apa kita diciptakan dan ke mana kita kembali. Arafah juga mencerminkan pesan bahwa umat Islam harus cerdas dan pandai menggunakan akalbudi sehingga fajar kebangkitan umat Islam akan muncul. Hanya dengan ilmu pengetahuan, kemajuan umat akan tercapai. Tanpanya, kita akan tetap menjadi buih di tengah lautan kemajuan manusia. Tanpa ilmu pengetahuan (arafah), kita tetap menjadi penonton di negeri sendiri. Tanpa ilmu pengetahuan, kita akan menjadi umat yang tertinggal, terbelakang, dan tetap bodoh yang hidup dalam kegelapan, yang mengais-ngais minta belas kasihan dari negara-negara maju yang memang telah mengambil keuntungan dari kebodohan kita sendiri.

Dari Arafah kita menuju Muzdalifah untuk bermalam dan mengumpulkan batu. Di Muzdalifah, bersama jutaan jamaah haji lainnya, kita bermalam sejenak di tengah gurun pasir untuk menyadari kelemahan kita sebagai manusia, karenanya kita butuh Allah sebagai sandaran dan penopang keyakinan hidup kita. Kita berzikir dan berdoa di sini. Lalu, kita kumpulkan batu untuk persiapan melontar esok hari di Mina.

Di Mina, kita bermalam untuk melakukan jumrah (melontar). Ada tiga jumrah yang akan kita lontar: ula, wustho dan aqabah. Ada makna yang tersembunyi di balik jumrah ini. Jumrah ula digambarkan seperti Fir’aun yang melambangkan penindasan; jumrah wustho digambarkan seperti Karun yang melambangkan kapitalisme, dan jumrah aqabah digambarkan seperti Balam yang melambangkan kemunafikan. Di jumroh inilah, kita lontar, buang, dan timpuk Fir’aun, Karun dan Balam. Kita buang dan kita lontar jauh-jauh sifat yang ada dalam diri kita seperti menindas orang lain, mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin tanpa peduli hak kaum papah dan kemunafikan dengan membenarkan kesalahan yang terjadi di depan mata. Sifat buruk dan jahat inilah yang kita harus tinggalkan di lobang jumroh itu. Sehingga sepulang jamaah haji dari tanah suci akan menjadi orang-orang yang damai dan bening hatinya. Dari Mina, jamaah haji berbondong-bondong kembali ke Mekkah untuk melakukan Thawaf dan Sa’i ifadhah.

Thawaf ialah berputar mengelilingi kakbah. Thawaf mencerminkan pesan bahwa kehidupan ini berputar dari tiada dan kembali ke tiada. Dimulai dan diakhiri di hajarul aswad (batu hitam) menggambarkan bahwa penciptaan manusia diambil dari segumpal tanah dan kembali ke tanah. Thawaf melambangkan transisi kehidupan setiap makhluk hidup: senang-susah, kaya-miskin, sehat-sakit, lapang-sibuk dstnya. Kita mengelilingi pusat eksistensi yaitu kakbah. Kakbah adalah lambang wujud Allah di muka bumi. Ini mecerminkan pesan bahwa kita harus selalu dekat dengan Allah. Kita harus jadikan Allah sebagai topangan kehidupan kita. Tanpa-Nya, kita akan tersesat di jalan dan terjerumus di lorong-lorong gelap dan hitam yang tak diketahui ujungnya. Dari thawaf, kita melakukan sa’i.

Sa’i ialah berlari kecil antara Shafa dan Marwah. Sa’i melambangkan perjuangan seorang ibu, Siti Hajar, mencari air untuk anaknya, Ismail. Sa’i berarti sebuah pencaharian, dan air adalah lambang kehidupan materil di atas dunia. Sa’i mencerminkan pesan carilah materi sebanyak mungkin, raihlah prestasi kehidupan dunia setinggi mungkin, tapi jangan lupakan kehidupan akhirat. Kehidupan materi untuk mencapai kebahagian kehidupan akhirat. Sa’i juga memberikan pesan kepada kita untuk menghargai perempuan: hormati ibumu yang telah bersusah payah mengandungmu, menyusuimu, dan mengasuhmu dengan penuh kasih sayang. Nyawa dipertaruhkan hanya untukmu. Hormati istrimu yang telah mengandung, melahirkan, dan mengasuh anakmu, memperhatikan kehidupan rumah tangga. Inti pesan sa’i hormati perempuan!

Sa’i dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwa. Shafa berarti cinta murni kepada orang lain. Shafa mencerminkan pesan cintailah orang lain seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Kasihi orang lain seperti engkau mengasihi saudaramu. Perhatikan lingkungan sekitarmu, tetanggamu, dan teman kerjamu. Shafa adalah hati yang bersih dan tulus untuk sampai ke Marwa, yaitu manusia ideal yang memiliki sifat menghargai, bermurah hati, dan suka memaafkan orang lain. Sa’i membentuk jamaah haji yang memiliki sifat-sifat agung tadi. Sehingga mereka menjadi orang yang ‘Marwa.’

Perjalanan haji ditutup dengan mencukur beberapa helai rambut sebagai ‘wisuda’ jamaah haji, karena telah menyelesaikan ibadah yang agung ini. Diharapkan, sekembalinya dari Arab Saudi, jamaah haji menerapkan makna dan pesan yang tercermin dari semua gerakan dan tahapan ibadah haji. Jika tidak, maka haji yang baru mereka laksanakan tidak memiliki arti apa-apa. Wallahu a’lam

---------------
Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, Jumat, 13 Januari 2006.

Sunday 16 October 2011

TAHALLUL


Oleh: AYANG UTRIZA NWAY

Makna dan Cara Tahallul

1.        Tahallul adalah memotong rambut untuk menghalalkan melepas kain ihram.
2.        Bagi lelaki : sebaiknya digundul atau paling tidak dicukur rapih. Nabi mendoakan hingga 3 kali mereka yang mencukur habis rambut mereka (botak atau gundul), dan hanya sekali mendoakan bagi mereka yang hanya mencukur rapih.
3.        Bagi perempuan : cukup dipotong beberapa helai rambutnya.

SAI

Oleh: AYANG UTRIZA NWAY

Cara Bersai

1)      Sai adalah berjalan antara Shafa dan Marwah dan berlari-lari kecil antara dua pilar hijau.
2)      7 kali putaran antara bukit Shafa dan Marwah. Diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasul melakukan sai antara Shafa dan Marwah (HR. Muslim)[1].
3)      Dimulai di bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah. Tidak boleh sebaliknya[2].
4)      Ketika memulai dan mengakhiri sai harus menghadap kakbah.
5)      Berlari-lari kecil antara 2 pilar hijau


[1] Al-Syirâzî, op.cit., hlm. 769.
[2] Al-Syirâzî, op.cit., hlm. 770.