Sunday 7 August 2011

Musibah, Iman dan Dosa Bersama

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Kita melihat, menyaksikan, dan merasakan sendiri musibah terjadi di seluruh pelosok negeri ini. Bencana alam tak henti-hentinya melanda persada Nusantara tercinta. Dari tahun 2004 hingga 2011, bencana terus menimpa negeri kita. Belum usai yang satu, sudah datang yang lain. Belum tuntas masalah tsunami Aceh, sudah datang gempa Jogjakarta. Belum selesai masalah gempa Jogja, sudah datang banjir di Sulawesi dan Kalimantan. Belum lagi usai masalah banjir, gempa di Maluku dan Lampung. Belum usai ini, gempa dan tsunami mengguncang Pantai Selatan Jawa: Pangandaran dan Cilacap. Dua hari setelah itu, giliran Banten kembali dilanda gempa. Sekarang musibah kekerasan atas nama agama. Inna lillâhi wa innâ ilayhi râji’un.

Ada apa dengan bangsa dan negeri kita ini? Apakah hal ini disebabkan minimnya peralatan yang canggih untuk mendeteksi bencana? Inikah bukti ketidakberdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi vis à vis alam ? Ke manakah para teknokrat, kalangan cerdik-cendekia kita ?

Kita dapat mengajukan ribuan tesis untuk menerangkan tragedi berbagai musibah di negeri ini sesuai dengan bidang dan keahlian kita masing-masing. Salah satu tesis itu, dari sudut pandang agama, kita menjelaskannya bahwa ini adalah peringatan Tuhan bagi kita. Allah berfirman di dalam Alquran:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’râf/7 :96)

Ayat ini terasa tepat sekali untuk negara kita. Hampir seluruh rakyat Indonesia beriman, seperti kita sebagai muslim, atau agama lain seperti Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu atau agama tempatan dan kepercayaan lokal. Untuk kita yang muslim, Islam telah menjadi agama mayoritas di negeri ini. Dari sini, tidak salah jika kita menyebut bangsa ini telah beriman secara kuantitas.

Di sini lain, Alhamdulillah, kita diberi negeri yang kaya raya akan sumber daya alam. Kita diberi keberkahan dari langit berupa hujan dan keberkahan dari bumi: pepohohan, berupa hutan yang luas dengan beraneka macam jenis pohon (terluas di dunia setelah hutan Amazona di Amerika);  tetumbuhan, berupa melimpahnya hasil buah-buahan dan sayur-mayur yang dapat kita petik hasilnya. Hasil perut bumi berupa gas, minyak, batu baru, emas, perak dan lainnya. Seharusnya, kita bisa memanfaatkan dengan baik semua potensi kekayaan alam negeri kita. Tetapi, sayang kita sendiri yang menghancurkan keberkehan negeri ini.

Ujung ayat di atas berbunyi “Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami, maka kami siksa mereka sebab perbuatannya.” Bentuk pendustaan terhadap ayat-ayat Allah, kata Ibnu Katsir adalah maksiat yang kita lakukan. Kita mengingkari ajaran Allah dan RasulNya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurânil ‘Adzhîm, Semarang: Maktabat Thaha Putra, t.t., Juz II, hlm. 231-2). Kita beriman secara kuantitas, tapi tidak secara kualitas. Kita beriman di mulut, tapi tidak di hati dan perbuatan.

Sumber daya alam yang melimpah itu dijarah, dirampas, dan diekploitasi dengan rakus dan tamak tanpa memperdulikan aturan alam: hutan ditebang demi keuntungan dan kekayaan segelintir orang. Erosi pun terjadi. Hujan tak dapat diserap oleh tanah karena sudah tandus. Akibatnya banjir bandang tak bisa tertahankan. Banjir di Sulawesi, Kalimantan dan Jawa adalah bukti terbaik betapa pembalakan liar karena kerakusan perorangan telah mengorbankan jutaan orang.

Kekayaan di perut bumi yang digali tanpa aturan alam. Ia diekploitasi dan dihisap tanpa mengindahkan alam dan orang sekitarnya. Kekayaan bumi berupa gas, minyak, batu baru, emas, perak dan lainnya di Papua, Riau, Aceh, Kalimantan, Sulawesi dijarah dan itu dilakukan atas restu oknum dan pihak-pihak tertentu. Masyarakat di sekitar kekayaan alam itu tetap miskin, tertinggal, bodoh, dan penyakitan. Struktur alam sekitarnya rusak, akibatnya bencana alam tidak tertahankan. Jika demikian siapa yang menderita? Akhirnya wong cilik juga yang paling terkena dampaknya. Ini merupakan siksa dan azab dari Allah. 

Allah memang sengaja memberi siksa dan azab kepada kita berupa bencana alam, karena kata Muhammad Rasyid Ridla dalam tafsirnya al-Manâr (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., Cet. II, Jilid XIX, hlm. 24-25.) perbuatan syirik, khurafat, dan maksiat yang kita lakukan telah merusak tatanan masyarakat.

Coba kita renungkan bahwa kita masih suka melakukan persekutuan dengan setan, iblis, dan jin. Kita pergi ke dukun dan orang sakti. Kita percaya kepada jimat, keris, batu akik dstnya. Bagaimana Allah tidak murka? Kita melakukan maksiat yang merusak tatanan masyarakat: kita korupsi secara berjemaah, berzina, minum minuman keras, narkoba, dan judi, melakukan dosa sosial berupa ketidakpedulian kita terhadap kaum duafa dan mustadafin. Semua ini benar-benar menghancurkan sendi-sendi masyarakat. Karena itu, adalah wajar dan lazim, kata Rasyid Ridla, kita diazab oleh allah. Untuk apa? Seperti saat dulu kita kecil dipukul oleh orang tua atau guru untuk mengingatkan kesalahan yang kita lakukan, karena perbuatan ‘nakal’ yang kita lakukan. Azab itu penting dalam kehidupan pribadi dan negara, agar kita berfikir dan mengambil hikmah dari semua yang menimpa kita.

Hasan Al-Bashri, seorang ulama dan sufi agung, berkata : al-mukminu ya’malu bis shâlihâti wa huwa musyfiqun wajilun khâ’ifun wal fâjiru ya’malu bil ma’âshî wa huwa âminun. Orang mukmin itu melakukan kebaikan, tetapi selalu merasa sengsara dan takut, sementara pendosa melakukan kemaksiatan, tetapi dia merasa aman. Mungkinkah kita orang yang melakukan kemaksiatan, kesalahan, kekeliruan, tetapi kita tenang-tenang saja, seakan tak berdosa? Kalau demikian, berarti kita memang al-fajir, sang pendosa.

Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (QS. Al-A’râf/7 :97-98).

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-‘Ankabût/29 :2-3).


Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". (QS. Al-Baqarah/2 :155-6).

No comments: