Sunday 7 August 2011

Meneladani Nabi Muhammad saw




Oleh: Ayang Utriza NWAY

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al-Ahzâb/33:21).”


Perayaan Mawlid

Perayaan kelahiran Nabi Muhammad saw. pertama kali dilakukan oleh Islam Syiah pada masa dinasti Fatimiyyah pada abad ke-5 H./11 M. saat khalifah Muizzuddin. Setelah dinasti Fatimiyyah jatuh, maulid Nabi tetap dirayakan oleh penggantinya yaitu dinasti Ayyubiyya yang didirikan oleh Salahuddin al-Ayyubi. Perayaan Mawlid pertama kali di dunia Islam Sunni adalah di Siria oleh penguasa Siria Nuruddin pada abad ke-6 H./12 M., lalu di Mosul, Rusia, oleh Umar al-Malla, kemudian di Mekkah, dan selanjutnya di Irbil, Irak Selatan, oleh penguasanya Muzaffaraddin Kokburi. Mawlid dirayakan secara umum di dunia Islam pada abad ke-7 H./13 M., kecuali di Afrika Hitam, perayaan mawlid baru dirayakan pada abad ke-9 H./15 M.

Alasan umat Islam pada masa lampau untuk merayakan mawlid ini, misalnya di daerah Sabtah, Maroko, oleh Abul Abbas al-‘Azafi, untuk mendorong persatuan di antara kaum muslimin, jika ingin berhasil memerangi orang-orang kafir (kristen) dan untuk menunjukkan identitas dan kebudayaan Islam untuk menggantikan perayaan-perayaan non-muslim. Sementara pada masa Salahuddin al-Ayyubi, mawlid dirayakan untuk membangkitkan semangat melawan umat Nashrani dalam perang Salib[1].

Perayaan mawlid saat ini tentu berbeda dengan umat Islam terdahulu. Kini, kita memperingati mawlid berarti menghadirkan Rasulullah di tengah-tengah kita dengan mencontoh semua teladan yang diberikan kepada kita. Oleh karena itu, sesuai dengan QS.33:21 di atas bahwa kita harus mengambil pelajaran dari semua aspek kehidupan Rasulullah. Inilah makna dari perayaan mawlid Nabi Muhammad saw.

Hukum Merayakannya 
Pada masa akhir dinasti Mamluk, abad 15, al-Suyuti mendapatkan pertanyaan mengenai hukum mawlid. Menurut Jalaluddin al-Suyuti, juga Abû Syamah, Ibnu Hajar al-Asqalâni, dan Ibnu Hajar al-Haytsami, bahwa peringatan mawlid ini adalah bidah hasanah, sesuatu yang baru, namun baik. Pertentangan mengenai hukum ini sebenarnya telah muncul dari abad ke-7 H./13 M. Menurut Ibnu Hajar, perayaan mawlid tidak pernah diadakan oleh orang-orang terdahulu yang saleh (salaf al-sâlih). Tetapi bukan berarti itu dilarang. Ini adalah bidah hasanah.

Ibn Taymiyyah (1328) menyerang keras perayaan mawlid dalam kitabnya Iqtidlâ Sirât al-Mustaqîm. Antara lain tuduhannya adalah bahwa mawlid sama dengan perayaan natal. Fatwa ketua Rabithah Alam Islâmi (pada tahun 1982) dan Saudi Arabia mengikuti fatwa Ibnu Taymiyyah sebagai bentuk bidah yang haram. Tetapi, muridnya Ibnu Katsir Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengeluarkan karya mengenai mawlid dalam bahasa Arab untuk pertama kalinya yang membolehkan peringatan mawlid tersebut[2].

Alasan di atas kita tolak keras. Karena, perayaan natal dan mawlid adalah dua hal yang sangat berbeda. Yang pertama merayakan kelahiran anak Tuhan yang menjadi bagian dari Tuhan itu sendiri, sementara yang kedua merayakan seorang anak manusia yang kemudian ditunjuk sebagai utusan Tuhan (Rasulullah). Kita tidak pernah mengkultuskan Nabi Muhammad saw. sebagai wakil Allah atau menjadi bagian dari Allah. Namun, kita menghargai dan menghormatinya dengan mengambil pelajaran dan teladan dari Nabi akhir zaman ini. Kemudian, jika dikatakan bahwa perayaan mawlid tidak pernah dilakukan oleh orang-orang saleh yang awal, ternyata menurut Mufti Afrika Selatan, M.A. Awwari, bahwa pada masa 4 Khulafaur Rasyidin sudah ada peringatan-peringatan kecil mengenai perayaan kelahiran Nabi. Bahkan, seperti kita lihat di bawah ini, Abdul Mutallib merayakan kegembiraannya saat lahir cucunya: Muhammad.

Dengan demikian, perayaan mawlid Nabi adalah sah hukumnya, diperbolehkan, dan merupakan bagian dari lambing identitas dan kebudayaan umat Islam. Inti dari perayaan ini adalah menelaah sejarah kehidupan Rasulullah dan kemudian kita ambil hikmahnya serka kita jadikan Beliau sebagai suriteladan yang baik.


Menjelang Kelahiran Rasulullah

Mekkah menjelang kelahiran Nabi adalah pusat perdagangan yang dilalui para pedagang dari Yaman di Selatan ke Syiria di Utara. Sementara perang antarsuku sejak lama terjadi dan terus berlangsung hingga Muhammad diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah. Dalam masyarakat kesukuan itulah, wanita bernilai sangat rendah. Bayi wanita dibunuh. Wanita dewasa diperlakukan seperti hewan. Di kakbah sendiri saat itu terdapat lebih dari 360 dewa dengan Hubal sebagai dewa utama. Abrahah yang hendak menguasai kakbah hancur, karena wabah penyakit yang dibawa oleh burung Ababil.

Dalam keadaan Mekkah seperti itu, sang penjaga kakbah Abdul Mutallib hendak mengorbankan anaknya Abdullah untuk para dewa. Tetapi, atas permintaan keluarga niat itu diundurkan dan diganti dengan 100 ekor unta. Kelak di kemudian hari, ia dinikahkan dengan Aminah. Dari pasangan inilah, lahir calon pemimpin umat yang diberi nama Muhammad. Pada saat itu hanya ada tiga orang yang bernama Muhammad. Ia lahir pada dini hari senin 12 Rabiul Awal tahun gajah (20 April 570 M.). Ketika Nabi lahir, kakeknya Abdul Mutallib merayakan bersama sukunya Quraisy karena kegembiraan yang sangat mendapatkan cucu lelaki.

Namun, sayang ibunya Aminah tidak dapat menyusui dan mendidiknya sendiri. Karena Mekah tidak baik untuk perkembangan anak, maka diserahkan ke pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Para pengasuh anak pada umumnya tinggal di daerah yang baik udaranya dan pergaulannya. Di Mekah udaranya buruk dan pergaulannya buruk, karena kotanya sudah menjadi kota perdagangan. Dari sini saja, kita sudah bisa mengambil hikmah dari keputusan ibu Nabi ini. Artinya, agar anak tumbuh sehat, hendaknya anak tinggal di daerah yang tidak kena polusi udara dan di lingkungan di mana pergaulan masyarakatnya masih baik berdasarkan etika dan moral serta nilai-nilai kemanusiaan.


Kelahiran dan Perkembangan Nabi

Saat persalinan, ibunda Nabi dibantu oleh Siti Maryam dan Siti Asyiah. Nabi terlahir sudah tersunat, matanya bercelak, dan dalam posisi diam merangkak. Pada usia 5 bulan, Nabi sudah bisa berjalan. Pada usia 9 bulan, sudah bisa berbicara. Pada usia 2 tahun, ia berhenti menyusu dan langsung ikut menggembala kambing.

Pada usia 6 tahun, Muhammad sudah menjadi yatim-piatu. Bapaknya, Abdullah, meninggal semasih Muhammad dalam kandungan 2 bulan dalam perjalanan dagang ke Syiria dan dikuburkan di dekat Madinah. Adapun ibunya, Aminah, meninggal saat berkunjung ke keluarganya di Madinah dan meninggal di Abwa, 37 km dari Madinah. Pesan moral dari kisah saat Nabi kecil: seorang pemimpin besar lahir dari rahim kesulitan dan penderitaan. Hikmahnya: pemimpin yang mengerti penderitaan akan memperhatikan dan berusaha membantu rakyatnya keluar dari kesulitan ekonomi, pendidikan, kesehatan dst.

Pada usia 8 tahun, kakeknya meninggal dunia dan pengasuhannya digantikan oleh pamannya Abu Thalib. Pada usia 12 tahun, Muhammad berdagang ke Syam (Syiria). Saat itulah ia bertemu dengan pendeta Buhairah yang melihatnya sebagai Nabi yang dijanjikan. Hikmahnya: berdagang adalah pekerjaan mulia, pekerjaan Nabi. Pesannya: kuasai ekonomi, kuasai perdagangan.

Pada usia 20 tahun, Muhammad mendirikan hilful fudul, lembaga yang membantu orang miskin dan orang yang teraniaya. Dan pada usia 25 tahun, beliau menikah dengan Khadijah. Kekayaan Khadijah dipergunakan untuk dakwah Muhammad, yaitu membebaskan para budak, membantu fakir-miskin, dan orang teraniaya melalui lembaganya hilful fudul. Pesannya: dirikan lembaga swadaya yang dapat membantu orang-orang papah, orang miskin, orang-orang yang dilemahkan oleh sistem dan tak diuntungkan oleh pembagian kue ekonomi negeri. Paling tidak, perhatikan kaum duafa dan mustadafin di sekitar kita.

Pada 17 Ramadan, ia menerima wahyu (6 Agustus 611 M.) sebagai tanda pengangkatannya sebagai Nabi di usianya 40 tahun[3].

Makna Ummi                            

Di dalam Alquran Allah berfirman dengan jelas bahwa akan datang nabiyy ummiy untuk umat manusia, untuk semua bangsa. Apa makna ummi di dalam ayat-ayat Alquran tersebut? Menurut Mohammed Talbi, pemikir muslim Tunisia, dalam Universalité du Coran bahwa ummi yang melekat pada diri Nabi (misalnya QS.al-A’râf/7:157-158) ‘al-nabiyy al-ummiy’ adalah bermakna goïm/goyim (jamak dari goï/goy), yaitu sebutan bagi orang bukan Yahudi oleh orang Yahudi (yang berarti kafir). Sementara Imam al-Nawawi di dalam tafsirnya Marâh Labîd menjelaskan bahwa makna umminya Nabi di sini adalah : tidak berlatih membaca dan menulis. Selain itu, ummi juga berarti tidak belajar kepada guru, tidak ada guru untuk mengajarnya.

Adapun makna ummiyyin di dalam QS. âl-‘Imrân/3:30 dan QS.al-Jumu’ah/62:2, menurut Imam al-Tabari, adalah (1) mereka yang tidak mempunyai kitab suci dan mereka itu dan (2) bangsa Arab (lihat juz 3, hlm. 143 dan juz 28 hlm. 88, Dar al-Ma’rifah, 1990). Demikian juga Ibnu Abbas di dalam tafsirnya Tafsir Ibnu Abbas menjelaskan makna ummiyyin di dalam kedua ayat tersebut adalah 1. Tidak ada kitab suci dan 2. Bangsa Arab.

Muhammad Tahir Ibn Asyur dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan dengan cukup baik bahwa ummi berarti bangsa yang belum punya kitab suci. Ini artinya Nabi Muhammad diutus untuk semua bangsa, semua umat. Penjelasan ini sesuai dengan firman Allah bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan demikian, makna ummi yang melekat pada diri Nabi berarti Nabi Muhammad berasal dari bangsa Arab, dan tentu bukan Yahudi, yaitu keturunan Ismail (nenek moyang bangsa Arab) dan bukan keturunan Ishak dan Yakub (nenek moyang bangsa Yahudi), yang diutus untuk semua bangsa dan umat.

Teladan Rasulullah

Semua sisi kisah perjalanan hidup Nabi di atas dapat diambil hikmahnya. Semua prilaku Nabi menjadi teladan baik bagi umat Islam. berdasarkan QS.33:21 di atas dan sabdanya wa mâ bu’istu li-utammima makârim al-akhlâq, tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Selain teladan dan hikmah yang bisa dipetik di atas, di bawah inilah, antara lain, akhlak (etika dan moral) Rasulullah yang harus kita teladani:

  1. Akhlak Rasulullah ketika kecil: membantu pengasuhnya mengembalakan kambing. Ia hidup dalam suasana keprihatinan. Inilah pendidikan awal seorang pemimpin. Jika seorang pemimpin terlatih prihatin, maka ia akan dekat dengan rakyatnya.
  2. Akhlak Rasulullah kepada isteri: kepada Khadijah, Aisyah dll. Ia memanggil isterinya dengan nama-nama manja dan sangat baik pergaulannya. Ia membantu isterinya dalam urusan rumah tangga.
  3. Rasulullah menikahi seorang janda yang sudah dua kali menikah. Khadijah sebelumnya telah menikah dengan Abu Halah Bin Malik dan ‘Utayyiq Bin Abid Bin Abdullah Bin Umar Bin Makhzum.
  4. Akhlak Rasulullah kepada anak-anaknya: Ruqayyah, Ummi Kulsum, Zainab, Fatimah, Qasim, Abdullah, dan Ibrahim. Ketika anaknya meninggal, ia teramat sedih. Ia sangat menyayangin anak-anaknya. Ia memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
  5. Anak tiri Rasulullah: Hindun Binti Abî Halah, Abdullah Bin Utayyiq, dan Jariyah Binti Utayyiq
  6. Akhlak Rasulullah kepada sanak-saudara dan kerabatnya: Abu Thalib, Abbas, Hamzah dll. Rasulullah sangat sedih ketika Abu Thalib meninggal dan Hamzah terbunuh dalam perang Uhud.
  7. Akhlak Rasulullah kepada sahabat-sahabatnya. Ia tidak pernah merasa paling tinggi, supramanusia. Ia sangat egaliter. Ia merasa sama saja dengan para sahabatnya. Ia tidak pernah menyalahkan para sahabatnya ketika berselisih. Ia sosok pemimpin yang demokratis.
  8. Akhlak Rasulullah kepada non-muslim. Ia menghormati non-muslim. Ia berdiri ketika jenazah non-muslim lewat. Ia mengunjungi non-muslim yang menjahatinya ketika ia sakit. Ia tidak pernah dendam kepada para pamannya yang non-muslim. Malah ia berbuat baik.

NB.
Bahan ceramah "Hikmah Mawlid Nabi Muhammad saw." di KBRI Paris, Sabtu 19 Februari 2011.



[1] Lihat pembahasan paling lengkap mengenai perayaan kelahiran Rasulullah Nico Kaptein, Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad saw., Jakarta : INIS, 1994.

[2] Baca lebih lanjut Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Bandung :Mizan, 1999.

[3] Ibn Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Beirut:Dâr al-Khary, 1416 H./1995 M. jilid I, Ensiklopedi Islam, bab Nabi Muhammad saw., Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, jilid III, Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta:Tintamas, 1984 terutama bab III dan IV, Schimmel, op.cit., bab VIII.

No comments: