Tuesday 2 August 2011

Menyantuni Anak Yatim-Piatu, Mengasihi Fakir-Miskin: Peduli Sosial Umat Islam


  Oleh: Ayang Utriza NWAY

1.  Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2.  Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3.  Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. Al-Mâ’ûn/107:1-3)


Imam al-Baghawi menulis sebab-sebab turunnya (asbâb al-nuzûl) surat al-Mâ’ûn ini di dalam tafsirnya Lubâb al-Takwîl Fî Ma’âlim al-Tanzîl[1]. Menurut Muqâtil ayat ini turun kepada al-‘As Bin Wâ’il al-Sahmî, menurut al-Saddî, Muqâtil Bin Hayyân, dan Ibnu Kiysân, ayat ini turun kepada Walîd Bin Mughîrah. Menurut al-Dhahâk ayat ini turun kepada ‘Amrû Bin ‘A’iz al-Makhzumî, sementara menurut ‘Athâ’ dari Ibnu ‘Abbas kepada seseorang dari golongan munafik.Mereka tidak percaya kepada al-dîn. Mereka mendustakan al-dîn.

Lalu, apa arti al-dîn di dalam surat ini ?

Ulama berbeda-beda dalam mengartikan kata al-dîn di dalam ayat tersebut. Mereka mengartikan kata al-dîn sebagai hari perhitungan dan hukum Allah, sebagaimana ditulis oleh Jalâluddîn al-Suyûtî (w. 911 H.) dalam tafsirnya al-Durr al-Mansûr Fî al-Tafsîr bi al-Ma’sûr[2]:

  1. al-Hisâb, artinya perhitungan. Ini pendapat Ibnu Jarîr dan Ibnu Munzir dari Ibnu Jurayj. Imam al-Baghawi dan Imam al-Zamakhsyari juga mengartikan al-dîn sebagai hari perhitungan dan pembalasan. Maksud perhitungan adalah hari pembalasan di mana setiap perbuatan manusia akan dimintakan pertanggungjawabannya. Semua amal perbuatakan diperhitungkan. Amal baik dibalas dengan pahala dan surga, amal buruk dibalas dengan dosa dan neraka. Sehingga ayat tersebut dapat diartikan sebagai “Apakah engkau tahu orang yang mendustakan hari perhitungan?”
  2. Hukmullâh, artinya hukum-hukum Allah. Ini pendapat Ibnu Jarîr dan Ibnu Abî Hâtim dari Ibnu ‘Abbas. Hukum Allah adalah ketetapan Allah di dalam Alquran mengenai baik-buruk, halal-haram, anjuran-larangan dstnya. Jadi, ayat di atas dapat diartikan sebagai “Apakah engkau tahu orang yang mendustakan hukum Allah?”

Siapakah mereka yang mendustakan agama, memungkiri hari pembalasan dan menolak hukum Allah? Mereka yang:

  1. Yadu’ul yatîm, yaitu orang yang menghardik anak yatim. Kata Yadu’ di dalam ayat ini berarti mencegah hak-hak yatim yang seharusnya ia terima. Ini pendapat Thustî dari Ibnu ‘Abbas dan Sa’îd Bin Mansûr dari Muhammad Bin Ka’ab. Sementara menurut Abdurrazzâq, Ibnu Munzir, dan Ibnu Abî Hâtim dari Qatâdah kata yadu’ berarti yazlim, menzalimi. Maksudnya: menzalimi anak yatim. Tegasnya tidak memerhatikan mereka. Imam al-Zamakhsyarî (467-538 H.) di dalam tafsirnya al-Kasyâf[3] menambahkan adalah mereka yang meninggalkan hak-hak anak yatim-piatu, yaitu mereka yang menghardiknya secara keras dengan kasar, atau menyakiti, atau menolaknya dengan kasar dan cacian.
  2. La yahudlu ‘ala ta’âmil miskîn. Tidak menganjurkan memberi makan fakir-miskin. Imam al-Zamakhsyarî (467-538 H.) di dalam tafsirnya al-Kasyâf[4] menjelaskan lebih lanjut bahwa mereka tidak memberi makan fakir-miskin dan tidak menganjurkan keluarganya untuk memberi makan fakir miskin. Karena mereka tidak percaya akan hari perhitungan. Seandainya mereka percaya akan adanya hari perhitungan, pastilah mereka takut akan siksa Allah dan tidak mungkin melakukan hal-hal tersebut. Mereka yang menelantarkan anak yatim piatu dan tidak memberi makan fakir-miskin adalah tanda lemahnya iman dan lembeknya akidah dan keyakinan.

Surat al-Mâ’ûn memerintahkan kepada kita untuk peduli terhadap yatim-piatu dan fakir-miskin di lingkungan sekitar kita. Surat al-Ma’un mengajarkan kita tentang kepedulian sosial. Hal ini menyuruh kepada kita untuk membangun kesalehan sosial. Ketakwaan, surga, dan pahala tidak akan pernah digapai, jika kita hanya egois dan individualis: ingin masuk surga sendiri. Kesalehan individual tidak bermakna apa-apa, kalau lingkungan sekitarnya ditelantarkan. Surat al-Ma’un berpesan kepada kita: dekati, santuni, kasihi, beri makan, biayai sekolah, beri tempat tinggal, beri pakaian, cukupi kehidupan yatim-piatu dan fakir-miskin.

Hadis-hadis Nabi menggambarkan akan kemulian orang yang memerhatikan yatim-piatu.  Seorang muslim yang hanya mengasihi anak yatim-piatu saja, akan mendapat berbagai keberkahan. Abdullah Bin Abi Aufa berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Man masaha ‘ala ra’si yatîmin rahmatan katab Allah lahu bikulli sya’ratin marrat ‘alayha yaduhu hasanatn wa maha ‘anhu bikulli sya’ratan sayyiatan wa rafa’a bikulli sya’ratin darajatan.
Barang siapa yang mengusap kepala anak yatim karena kasih sayang, maka Allah mencatat untuknya bagi tiap rambut yang diusap satu kebajikan, dan dihapus satu dosa, dan dinaikkan satu derajat.

Adapun bagi seorang muslim yang mengambil anak yatim-piatu lalu dirawatnya hingga ia mandiri, maka tiada balasannya kecuali surga. Ibnu Abbas ra. dari Rasulullah saw. bersabda:

Man dlamma yatîman min bayni yatâma al-muslimîn ilâ ta’âmihi wa syarâbihi hattâ yughniyahu allâhu ta’âla, awjaba allâhu lahu al-jannah al-battah, illâ an ya’mala ‘amalan la yaghfiru allâhu lahu
Barang siapa yang memelihara seorang anak yatim dari kaum muslimin untuk menjamin makan minumnya sehingga ia cukup sendiri, maka Allah mewajibkan untuknya surga, kecuali jika ia berbuat perbuatan yang tidak diampuni oleh Allah.

Bahkan, bagi orang Islam yang memelihara anak yatim, yang menanggung semua biaya dan keperluan anak yatim, maka kedudukannya kelak di surga bersama Rasulullah, seperti jari telunjuk dan jari tengah. Zayd Bin Aslam berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

 Ana wa kâfilul yatîm al-muslim kahâtayni fil jannah wa jama’a bayna usbu’ayhi.
Aku dengan orang yang memelihara anak yatim di surga bagaikan dua jari ini, sambil menunjukkan kedua jari telunjuk dan jari tengah.

Bahkan, memerhatikan yatim-piatu adalah obat bagi hati kita yang keras, hati kita yang sakit. Jika kita terasa jauh dari Allah dan tidak lagi bersemangat akan ibadah kepadaNya, maka ini adalah tanda hati kita akan mati. Obatnya sangat mudah: santuni anak yatim-piatu.

Abu Darda ra. berkata bahwa ada seseorang datang kepada Nabi saw. mengeluh karena hatinya keras, lalu Nabi saw. bersabda:

In sarraka an yalîna qalbuka famsah bira’sil yatîmi wa at’imhu.
Jika engkau ingin lunak hatimu, maka usapkan kepala anak yatim dan beri makan kepadanya.

Jika Anda merasa jauh dari Allah, jika Anda merasa malas beribadah, jika Anda merasa paling hebat, jika Anda merasa sombong, jika Anda merasa paling benar sendiri, jika Anda merasa paling kaya, obatilah hati Anda dengan memerhatikan yatim-piatu dan fakir-miskin. Obatilah hati Anda dengan menyantuni yatim-piatu dan fakir-miskin. Merekalah dokter-dokter penyakit hati. Dan akhirnya, surga hanya bisa diraih dengan kepedulian kita terhadap yatim-piatu dan fakir miskin.
***

 Sumber Rujukan:

[1] Abû Muhammad al-Husayn Bin Mas’ud al-Baghawi, Lubâb al-Takwîl Fî Ma’âlim al-Tanzîl, Beirut:Dâr Ibn Hazm, 1423/2002, hlm.1438.

[2] Jalâluddîn al-Suyûtî, al-Durr al-Mansûr Fî al-Tafsîr bi al-Ma’sûr, ed. Syeikh Najdat Najîb, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-Islâmiyy, 1421/2001, jilid VIII, hlm. 584.

[3] Abû al-Qâsim Jârullâh Mahmûd Bin ‘Umar al-Zamakhsyarî al-Khawârizmî, al-Kasyâf, Beirut :Dâr al-Ma’rifah, 1423/2002, hlm.1223.

[4] Abû al-Qâsim Jârullâh Mahmûd Bin ‘Umar al-Zamakhsyarî al-Khawârizmî, al-Kasyâf, Beirut :Dâr al-Ma’rifah, 1423/2002, hlm.1223.

No comments: