Monday 1 August 2011

Marhaban Ya Ramadhan : Menyambut Datangnya Bulan Puasa


Oleh : Ust. Ayang Utriza NWAY, S.Ag., DEA.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

“Iza ja’a ramadhanu futihat abwabu al-jannati wa ghulliqat abwabu al-nari wa suffidat al-syayathin”

“Jika datang bulan Ramadhan dibuka pintu surga dan ditutup pintu neraka dan diikat para syaitan”
(HR. Muslim dari Abu Hurayrah [Sahih Muslim VII:187])

Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh hikmah. Datangnya bulan Ramadan sudah membawa keberkahan sendiri bagi umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas. al-Qadli ‘Iyadl menjelaskan bahwa hadis di atas menggambarkan betapa mulianya bulan Ramadhan. Oleh karena itu, hendaklah kita menghormati bulan puasa ini.

Ketika Ramadan masuk maka pintu surga dibuka dan setan diikat. “Futihat abwâbul jannah” “Dibuka pintu surga” bermakna banyaknya ganjaran dan pahala yang disediakan di bulan Ramadan dan dibukanya pintu maaf. Allah membuka pintu surga untuk para hambaNya agar dapat melakukan ketaatan dan kebajikan sebanyak mungkin di mana keistimewaan bulan ini tidak dapat dijumpai di bulan lain. “Wa ghulliqat al-syayâtîn” “Diikat setan”, maksudnya agar kaum muslimin selamat dan terhindar dari pengaruh dan godaan setan dan terhindar dari melakukan maksiyat sehingga menjadi sebab masuk ke dalam surga Allah[1]. Artinya apapun yang kita lakukan pada bulan tersebut baik atau buruk adalah muncul dari keinginan diri kita sendiri. Kita harus dapat mengendalikan diri sehingga menghasilkan manusia bertakwa.

Setelah itu, dalam sebuah hadis kudsi, bahwa pada malam pertama bulan Ramadhan Allah menyuruh malaikat Ridwan untuk membuka pintu surga bagi umat Nabi Muhammad saw. yang berpuasa, dan juga menyuruh malaikat Malik agar menutup pintu neraka bagi umat Rasulullah yang berpuasa. Allah juga menyuruh malaikat Jibril untuk mengikat para setan dan membuangnya ke laut agar tidak mengganggu umat Nabi saw. yang berpuasa.

Kemudian, pada setiap malam bulan Ramadhan, Allah berfirman hingga tiga kali “Hal min sâ’ilin fa’u‘tîhi su’lahu, hal min tâ’ibin fa’atûbu ‘alayhi hal min mustaghfirin fa’aghfiru lahu” (Tak ada seorang pun yang berdoa, kecuali pasti aku kabulkan, tidak ada seorang pun yang bertaubat, kecuali pasti aku terima taubatnya, tak ada seorang pun yang meminta ampun kepadaku, kecuali pasti aku ampuni).[2] Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan sebaik mungkin setiap malam bulan Ramadan ini dengan salat tarawih, tadarus Alquran dan berdoa. Bulan puasa ini adalah waktu mustajab, yaitu waktu di mana doa-doa kita didengar oleh Allah dan pasti Allah kabulkan. Jangan sia-siakan kesempatan ini.

Jika bulan Ramadan ini dijalani dengan penuh kesungguhan, yaitu dengan sepenuh keimanan kita dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah berjanji akan mengampuni dosa-dosa kita. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.”Man shâma ramadhâna îmânan wa ihtisâban ghufira lahu ma taqaddama min zanbihi” (Barang siapa  yang berpuasa pada bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharapkan ganjaran, maka akan diampuni dosanya yang terdahulu, (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa’i dan Abu Dawud). Allah berjanji bahwa Allah pasti akan mengampuni dosa-dosa kita sebesar apapun dosa kita, kecuali syirik, dengan syarat setelah bulan Ramadan ini kita tidak lagi melakukan kesalahan dan maksiyat yang pernah kita lakukan sebelum bulan Ramadan.

Keistimewaan Puasa
Puasa adalah amal ibadah yang memiliki nilai khusus. Keistimewaan puasa terletak pada kenyataan bahwa hanya puasalah amal ibadah yang Allah sendiri akan membalasnya. Sebagaimana firman Allah dalam hadis kudsi “Kullu ‘amalibni âdama lahu illa al-sawmu fa’innahu li wa anâ ajzî bihi’, (Setiap  perbuatan anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan mengganjarnya (HR. Muslim). Allah yang akan memberi pahala langsung kepada kita atas puasa, karena hanya Allah jualah yang maha mengerti dan mengetahui siapa yang melakukan puasa dengan sebenar-benarnya. Kita bisa menipu manusia, tapi kita tidak bisa berkelit dari tatapan Allah.

Tingkatan Puasa
Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali menjelaskan dalam karya monumentalnya Ihyâ ‘Ulûmiddîn bahwa ada tiga tingkatan puasa :
  1. Shawm al-‘umum, yaitu mereka yang hanya menahan lapar, haus, dan jima.
  2. Shawm al-khusus, yaitu mereka yang menjaga telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan seluruh badan dari perbuatan dosa.
  3. Shawm khusus al-khusus, yaitu puasa hati dari keinginan-keinginan rendah dan pikiran-pikiran duniawi dan menjaga hati dan pikiran dari berfikir selain Allah.
Lalu di manakah tingkatan kita? Kita sendiri yang dapat menjawabnya. Mungkin saya sendiri pada tingkat yang pertama yaitu puasa orang-orang umum. Puasa orang yang sekadar menggugurkan kewajiban. Kita berpuasa, tetapi tetap melakukan aneka ragam dosa. Kita berbohong, membicarakan keburukan orang lain dstnya.

Rasulullah bersabda « khamsun yuftirna al-shâ’ima : al-kizbu, wa al-ghîbah, wa al-namimah, wa al-yamîn al-kâzibah wa al-nazhru bisyahwatin, artinya : «Lima hal yang membatalkan orang puasa: bohong, gibah, mengadu domba, sumpah palsu, dan melihat dengan nafsu)[3]. Jika ditelaah hadis ini nampak bahwa empat hal yang dapat membatalkan puasa disebabkan oleh mulut dan satu oleh mata.

Oleh karena itu berpuasa bukan saja menahan lapar dan haus, tetapi juga harus mempuasakan mulut dan mata. Jika tidak, maka puasa kita akan sia-sia saja. Puasa seharusnya dapat membawa kepada pada puasa mulut, dapat mengendalikan lidah. Muhammad al-Rahibi, seorang sufi besar mengatakan «man adkhala bi bathnihi fudlula al-tha’ami kharaja min lisanihi fudlûlu al-kalami» ‘Siapa yang banyak memasukkan makanan ke dalam perutnya, maka akan banyak mengeluarkan omongan dari mulutnya[4].’

Orang yang berpuasa yang telah menahan perutnya dari lapar, seyogyanya dapat mengendalikan mulutnya. Jika tidak, maka dapat dipastikan puasanya tidak memiliki arti apa-apa. Malik Ibn Dinar, seorang sufi besar mengatakan ‘Kalâmun la ya’nihi yuqsi al-qalba wa yuhinu al-badan wa yu’assira al-rizqa’ «Pembicaraan yang tidak berguna akan membuat hati mati, melemahkan badan, dan menutup pintu rezeki)[5]. Oleh karena itu, kita harus menjaga mulut dan mata kita dalam berpuasa. Jika tidak, benar kata Nabi saw. ‘kam min shâ’imin laysa lahu min shawmihi illa al-jû’i wa al-‘atsy’ «Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak ada nilai puasanya, kecuali lapar dan haus » (HR. Nasa’i dan Ibn Majah)

Penutup
Dengan uraian di atas menjadi jelas bahwa datangnya bulan Ramadan benar-benar membawa berkah bagi umat Islam secara ekonomi, sosial dan spiritual. Secara ekonomi, semua pedagang apapun dapat meraih laba yang lebih besar ketimbang bulan lain. Semua orang kecipratan rezeki Ramadan. Secara sosial, jalinan antarmasyarakat yang tadinya renggang karena kesibukan kita sehari-hari selama 11 bulan, dengan adanya bulan Ramadan, ikatan dan jalinan sosial tadi kembali menguat, dengan adanya acara tarawih bersama, tadarus dan buka puasa bersama. Secara spiritual, kita dapat meraih pahala sebanyak mungkin selama bulan Ramadan. Kita mendekatkan diri kepada Allah sepanjang bulan puasa ini. Ramadan menjadi wahana melatih jiwa agar menjadi jiwa-jiwa yang mutmainnah, sehingga tujuan puasa tercapai yaitu manusia bertakwa.


[1] Imam Muslim, Sahih Muslim Bisyarh al-Nawawi, XVIII vols. Vol. VII Beirut : Dar Ihya al-Turas al-‘Arabiyy, tanpa tahun, cet. IV, hlm. 188.

[2] Abu Layst dari Ibn ‘Abbas, lihat Al-Samarqandi, op.cit., h.117-8

[3] al-Ghazali, Abu Hamid, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, Beirut : Dar al-Fikr, 1993/1414, hlm. 61

[4] al-Sya’rani, Abd al-Wahhab. Tanbih al-Mughtarin. Semarang : Maktabat Thaha Putra, tanpa tahun, hlm. 83

[5] Al-Sya’rani, op.cit., h.84

No comments: