Sunday 16 October 2011

UMRAH

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Makna Umrah

Umrah secara bahasa berarti ziarah[1]. Umrah menurut pengertian syarak adalah menyengaja datang ke kakbah untuk beribadah, yaitu ihram, tawaf, sai, dan bercukur yang dilakukan secara tertib[2].

Hukum Umrah

Di dalam QS. al-Baqarah/2:196, Allah berfirman:


Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum umrah ini. Imam Syafii dalam pendapat lamanya (qawl qadîm) menyatakan bahwa hukum umrah tidak wajib. Namun, dalam pendapat baru (qawl jadîd), ia menyatakan bahwa hukum umrah adalah fardu, berdasarkan hadis dari Aisyah ra., ia bertanya: “Wahai Rasulullah apakah ada jihad bagi wanita?, Rasulullah menjawab: “Berjihad, yang tidak berperang, yaitu haji dan umrah.” Ulama Syafiiyyah sepakat mengatakan bahwa umrah itu fardu.[3]

Adapun Imam Ahmad, memiliki dua pendapat: pendapat pertama ia mengatakan bahwa umrah itu wajib, dan pendapat kedua, bahwa umrah itu sunah. Pendapat kedua ini ialah pendapat yang dipegangi ulama Hanabilah, mayoritas ulama Hanbali. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa hukum umrah ialah sunah, berdasarkan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Jabir ra. bahwa Nabi ditanya mengenai umrah: “Apakah umrah itu wajib?”, Rasulullah menjawab: “Tidak, tetapi jika kamu umrah, itu lebih baik.” Adapun Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari Thalhah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Haji itu jihad, dan umrah itu sunah”.[4]

Syarat Umrah

Umrah disunahkan atas orang Islam, berakal, dewasa, merdeka, dan mampu. Mampu di sini berarti adanya bekal dan kendaraan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar ra. berkata: ada seorang lelaki yang datang ke Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah apa yang membuat wajib berhaji?”, Rasulullah menjawab: “Adanya bekal dan kendaraan (al-zâd wa al-râhilah).[5]

Bekal maksudnya ketersediaan sandang selama menunaikan ibadah haji. Adapun kendaraan ialah adanya alat yang dapat mengantarkan ke Mekah dan Madinah, jika pada masa dahulu kala berupa onta, maka sekarang berupa pesawat dan bus. Dengan demikian, umrah disunahkan hanya kepada mereka yang telah mampu secara keuangan. Orang yang berhutang untuk berangkat umrah, hukumnya tidak boleh, karena orang itu belum mampu secara keuangan. Jika orang tersebut punya hutang, maka ia harus melunasinya terlebih dahulu[6].

Perempuan yang akan berumrah, menurut ulama Hanafi, wajib dengan suami atau mahramnya, jika tidak maka nilai sunah umrahnya gugur berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda “Tidaklah seorang perempuan berhaji, kecuali bersamanya mahram” (HR. al-Bazzâr, al-Dâruqutnî, dan al-Thabrânî). Tetapi menurut Syafii, ia tetap sunah walaupun tidak ada suami atau mahram, tetapi ada perempuan lain sebagai temannya berdasarkan QS. Al-‘Imrân/3:97[7].   

Waktu Umrah

Waktu umrah sunah adalah kapan saja dapat dilakukan berdasarkan kemampuan. Rasulullah sendiri pernah melakukan 4 kali umrah sepanjang hidupnya yang kesemuanya dilakukan pada bulan Dzulkakdah (HR. Bukhari dari Anas). Sementara menurut riwayat Aisyah Rasulullah saw. pernah umrah 2 kali pada bulan Dzulkakdah dan Syawal (HR. Abu Daud). Bahkan umrah di bulan Ramadan menyamai haji (umratun fî ramadhân ta’dilu hajjan) (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)[8]. Aisyah, isteri Nabi, berumrah 3 kali dalam setahun. Abdullah Bin Umar berumrah 2 kali setiap tahun pada masa pemerintahan Zubair.

Nabi bersabda “al-‘umrat ilal ‘umrati kaffâratun lima baynahuma” (dari satu umrah ke umrah yang satunya lagi menjadi penghapus dosa di antara masa keduanya) (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Abu Hurayrah)[9].

Rukun Umrah
  1. Ihram
  2. Tawaf
  3. Sai
  4. Tahallul

[1] Al-Nawâwî, Syarh Shahîh Muslim, Beirut : Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabiyy, cet. IV, jilid 8, h. 72.
[2] Zaynuddin ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbarî, Fath al-Mu’în Bi al-Syarh Qurrat al-A’yun, Surabaya:al-Hidayah, t.t., h. 60. Abu Bakr Muhammad Syatha al-Dimyathî, I’ânat al-Thâlibîn, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al’Arabiyyah, t.t., juz II, h. 275.
[3] Ibid, op.cit., h. 655-756.
[4] Ibn Qudâmah, al-Mughnî, ed. ‘Abd Allah Ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turkî dan ‘Abd al-Fattâh Muhammad al-Hilw, Kairo : Hijr, cet. II, 1412/1992, jilid V, h. 13-14.
[5] Al-Syirâzî, op.cit., h. 659-665.
[6] al-Syirâzî, op.cit., h. 666.
[7] ‘Alauddîn Abû Bakr Ibn Su’ûd al-Kâsânî al-Hanafi, Badâ’i al-Shanâ’i’ Fî Tartîb al-Syarâ’i’, Lebanon:Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabiyy, 1417 H./1997 M., Juz II, hlm. 299.
[8] Al-Syirâzî, op.cit., h. 679.
[9] TM. Hasbi al-Shiddieqy, Pedoman Haji, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, h. 26.

No comments: