Saturday 22 October 2011

Makna dan Pesan Simbolik Haji


oleh: AYANG UTRIZA NWAY

Saat ini ratusan ribu orang Indonesia tengah menunaikan ibadah haji. Mereka tengah melaksanakan rentetan terpenting ibadah haji yang terdiri dari rukun dan wajib, yaitu ihram dan mengambil niat di miqat, wukuf di Arafah, bermalam (mabit) di Muzdalifah, bermalam di Mina, melontar jumroh, dan diakhiri dengan tawaf dan sa’i ifadah lalu ditutup mencukur rambut (tahallul) sebagai tanda tuntasnya pelaksanaan haji. Alangkah indahnya jika jamaah haji mengerti secara sungguh-sungguh makna dari semua tahapan dan gerakan haji yang mereka lakukan. Ali Syariati (1997) dalam karya monumentalnya tentang “Haji” menjelaskan secara filosofis makna simbolik dari semua gerakan haji tersebut.

Di miqat (tempat mengambil niat haji) kita melepaskan pakaian kita, dan diganti dengan kain ihram. Pakaian melambangkan pola, preferensi, status dan perbedan-perbedaan tertentu. Pakaian menunjukkan ‘batas’ antara sesama manusia. Pakaian menjadi penanda antara “kita” dan “mereka.” Pakaian adalah citra dan lambang ego kita. Pakaian dapat menipu orang. Inilah yang kita harus lepas. Pakaian yang selama ini menjadi topeng kita, harus dilepaskan. Kita tanggalkan semua sifat buruk yang kita miliki.

Kita yang wujudnya manusia, setelah menjalani proses kehidupan, mungkin, telah berubah menjadi binatang. Kita menjadi srigala, tikus, anjing dan domba. Srigala melambangkan kekejaman dan penindasan, tikus melambangkan kelicikan, anjing melambangkan tipu daya dan domba melambangkan penghambaan. Di miqat inilah kita tanggalkan sifat kebinatangan kita tadi, dan diganti dengan kain kemanusian, yaitu ihram.

Ihram ialah dua helai kain putih bersih. kain ihram ini mencerminkan pesan bahwa kita memakai pakaian yang sama dengan orang lain. Artinya, kita semua adalah sama di hadapan Allah. Tidak ada yang membedakannya, kecuali ketakwaan yang ada di dalam hati. Kain ihram juga mencerminkan kesederhanaan dan tidak riya, yaitu sifat suka pamer kelebihan yang kita miliki. Warna kain ihram yang putih menggambarkan bahwa kita harus memiliki hati yang putih bersih seperti kaih ihram itu. Kita harus menjadi putih bersih seperti tatkala kita lahir. Karena itu diharapkan, setelah pulang haji, jamaah haji akan bersih dari dosa-dosanya seperti putihnya kain ihram.

Kata ihram, yang berasal dari kata yang sama dengan haram, berarti sejak dikenakannya pakaian ihram, kita mengharamkan semua prilaku yang tidak baik dan merusak. Ihram berarti, meminjam istilah Ziauddin Sardar, state of peace, keadaan damai. Kita berdamai dengan manusia, binatang bahkan alam raya. Karena itu ada larangan yang berlaku setelah mengenakan kain ihram, yang dikenal dengan istilah muharramat, seperti membunuh binatang, mencabut pepohonan dan bertengkar dan bermusuhan antarsesama. Setelah berada di miqat dan mengenakan kain ihram, maka jamaah mengucapkan niat haji dan bersiap berangkat ke Arafah untuk wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Wukuf di Arafah mengandung dua pesan. Pertama, wukuf, dalam bahasa Arab, berarti berhenti. Maksudnya, mulai tanggal 9 Dzulhijjah, kita berjanji untuk berhenti dari perbuatan maksiyat. Berhenti dari melakukan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah. Berhenti membicarakan keburukan orang lain. Berhenti menggunjing kejelekan sesama muslim. Berhenti dari semua perbuatan tercela seperti korupsi, memeras orang, mengambil hak orang lain, mencuri, membunuh, menyebarkan fitnah dan kebencian. Kita berhenti sejenak untuk berfikir (arafah).

Arafah, dalam bahasa arab, berarti pengetahuan atau ilmu. Arafah juga bermakna berfikir, memahami, dan merenung. Dengan berhenti di padang tandus yang gersang itu, kita merenung bahwa seperti inilah kita di padang Mahsyar pada hari perhitungan (yawm al-hisâb) nanti, setelah hari akhir (yawm al-qiyamah). Kita merenung dari apa kita diciptakan dan ke mana kita kembali. Arafah juga mencerminkan pesan bahwa umat Islam harus cerdas dan pandai menggunakan akalbudi sehingga fajar kebangkitan umat Islam akan muncul. Hanya dengan ilmu pengetahuan, kemajuan umat akan tercapai. Tanpanya, kita akan tetap menjadi buih di tengah lautan kemajuan manusia. Tanpa ilmu pengetahuan (arafah), kita tetap menjadi penonton di negeri sendiri. Tanpa ilmu pengetahuan, kita akan menjadi umat yang tertinggal, terbelakang, dan tetap bodoh yang hidup dalam kegelapan, yang mengais-ngais minta belas kasihan dari negara-negara maju yang memang telah mengambil keuntungan dari kebodohan kita sendiri.

Dari Arafah kita menuju Muzdalifah untuk bermalam dan mengumpulkan batu. Di Muzdalifah, bersama jutaan jamaah haji lainnya, kita bermalam sejenak di tengah gurun pasir untuk menyadari kelemahan kita sebagai manusia, karenanya kita butuh Allah sebagai sandaran dan penopang keyakinan hidup kita. Kita berzikir dan berdoa di sini. Lalu, kita kumpulkan batu untuk persiapan melontar esok hari di Mina.

Di Mina, kita bermalam untuk melakukan jumrah (melontar). Ada tiga jumrah yang akan kita lontar: ula, wustho dan aqabah. Ada makna yang tersembunyi di balik jumrah ini. Jumrah ula digambarkan seperti Fir’aun yang melambangkan penindasan; jumrah wustho digambarkan seperti Karun yang melambangkan kapitalisme, dan jumrah aqabah digambarkan seperti Balam yang melambangkan kemunafikan. Di jumroh inilah, kita lontar, buang, dan timpuk Fir’aun, Karun dan Balam. Kita buang dan kita lontar jauh-jauh sifat yang ada dalam diri kita seperti menindas orang lain, mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin tanpa peduli hak kaum papah dan kemunafikan dengan membenarkan kesalahan yang terjadi di depan mata. Sifat buruk dan jahat inilah yang kita harus tinggalkan di lobang jumroh itu. Sehingga sepulang jamaah haji dari tanah suci akan menjadi orang-orang yang damai dan bening hatinya. Dari Mina, jamaah haji berbondong-bondong kembali ke Mekkah untuk melakukan Thawaf dan Sa’i ifadhah.

Thawaf ialah berputar mengelilingi kakbah. Thawaf mencerminkan pesan bahwa kehidupan ini berputar dari tiada dan kembali ke tiada. Dimulai dan diakhiri di hajarul aswad (batu hitam) menggambarkan bahwa penciptaan manusia diambil dari segumpal tanah dan kembali ke tanah. Thawaf melambangkan transisi kehidupan setiap makhluk hidup: senang-susah, kaya-miskin, sehat-sakit, lapang-sibuk dstnya. Kita mengelilingi pusat eksistensi yaitu kakbah. Kakbah adalah lambang wujud Allah di muka bumi. Ini mecerminkan pesan bahwa kita harus selalu dekat dengan Allah. Kita harus jadikan Allah sebagai topangan kehidupan kita. Tanpa-Nya, kita akan tersesat di jalan dan terjerumus di lorong-lorong gelap dan hitam yang tak diketahui ujungnya. Dari thawaf, kita melakukan sa’i.

Sa’i ialah berlari kecil antara Shafa dan Marwah. Sa’i melambangkan perjuangan seorang ibu, Siti Hajar, mencari air untuk anaknya, Ismail. Sa’i berarti sebuah pencaharian, dan air adalah lambang kehidupan materil di atas dunia. Sa’i mencerminkan pesan carilah materi sebanyak mungkin, raihlah prestasi kehidupan dunia setinggi mungkin, tapi jangan lupakan kehidupan akhirat. Kehidupan materi untuk mencapai kebahagian kehidupan akhirat. Sa’i juga memberikan pesan kepada kita untuk menghargai perempuan: hormati ibumu yang telah bersusah payah mengandungmu, menyusuimu, dan mengasuhmu dengan penuh kasih sayang. Nyawa dipertaruhkan hanya untukmu. Hormati istrimu yang telah mengandung, melahirkan, dan mengasuh anakmu, memperhatikan kehidupan rumah tangga. Inti pesan sa’i hormati perempuan!

Sa’i dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwa. Shafa berarti cinta murni kepada orang lain. Shafa mencerminkan pesan cintailah orang lain seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Kasihi orang lain seperti engkau mengasihi saudaramu. Perhatikan lingkungan sekitarmu, tetanggamu, dan teman kerjamu. Shafa adalah hati yang bersih dan tulus untuk sampai ke Marwa, yaitu manusia ideal yang memiliki sifat menghargai, bermurah hati, dan suka memaafkan orang lain. Sa’i membentuk jamaah haji yang memiliki sifat-sifat agung tadi. Sehingga mereka menjadi orang yang ‘Marwa.’

Perjalanan haji ditutup dengan mencukur beberapa helai rambut sebagai ‘wisuda’ jamaah haji, karena telah menyelesaikan ibadah yang agung ini. Diharapkan, sekembalinya dari Arab Saudi, jamaah haji menerapkan makna dan pesan yang tercermin dari semua gerakan dan tahapan ibadah haji. Jika tidak, maka haji yang baru mereka laksanakan tidak memiliki arti apa-apa. Wallahu a’lam

---------------
Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, Jumat, 13 Januari 2006.

No comments: