Thursday 3 November 2011

Makna dan Pesan Berkurban

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban di Indonesia merupakan hari raya besar kedua setelah Hari Raya Idul Fitri. Sebaliknya, bagi masyarakat Muslim-Arab di Timur Tengah dan di Afrika, Idul Adha adalah hari raya besar pertama, sementara Idul Fitri sebagai hari raya besar kedua. Idul Adha dilihat sebagai hari raya besar yang lebih penting dari Idul Fitri, karena di dalamnya telah merekam kejadian penting.  

Idul Adha adalah hari untuk mengenang kembali peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayahandanya Nabi Ibrahim. Kejadian tersebut merupakan batu ujian ketaatan Ibrahim kepada Allah swt. Di kemudian hari, pengurbanan ini menjadi tradisi bagi umat Islam untuk menyembelih hewan kurban baik berupa kambing maupun sapi setiap tanggal 10 Dzulhijah dan hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

Sejarah berkurban
Ali Syariati (1997) menjelaskan bahwa sejarah berkurban diawali pada saat Nabi Ibrahim merasakan kesepian. Karena hingga umurnya mencapai satu abad, ia tak kunjung dikaruniai anak. Hal ini disebabkan istrinya, Sarah, yang mandul. Ibrahim hanya dapat berdoa “Ya Tuhanku karuniailah aku seorang anak yang salih” (Qs.37:100).

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”

Selang beberapa waktu, Allah menjawab keluh kesah dan rintihan Ibrahim dengan mengaruniakan seorang putra bernama Ismail (dari Bahasa Ibrani yisma -mendengar- dan il -tuhan- yang berarti: Tuhan mendengar) melalui hamba perempuannya yang bernama Hajar. Namun di tengah kebahagiaan dan kegembiraannya itu, Allah kembali menguji Ibrahim dengan perintah melalui mimpi untuk menyembelih anak yang dikasihinya.

 “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur yang sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Begitu menerima wahyu Allah itu, Ibrahim hamba Allah yang paling patuh dan tokoh pemberontak yang paling terkenal di dalam sejarah gemetar dan goyah sekan-akan hendak roboh, dan seakan-akan tokoh sejarah yang tak terkalahkan itu sedang mengalami kehancuran. Batinnya sangat guncang menerima wahyu itu. Bayangkan, kekayaan apa yang lebih berharga ketimbang anak? Tetapi wahyu tersebut adalah perintah Allah, Ibrahim tidak dapat mengelak dari-Nya.

Ibrahim menghadapi dua buah pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan “menyelamatkan” Ismail, atau mentaati perintah Allah dengan mengorbankannya. Ia harus memilih salah satu di antara keduanya. “Cinta” dan “kebenaran” berperang di dalam batinnya. Untuk memecahkan persoalan ini, Ibrahim mendialogkan dengan anaknya: “Wahai anakku aku bermimpi semalam bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” Sang anak yang saleh menjawab “Wahai ayahku, jika memang itu perintah Tuhanmu, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan menjumpaiku termasuk orang yang sabar (Qs. 37:102).

Dengan berat hati Ibrahim menimbang-nimbang, barulah ia yakin dan tipu daya setan yang memperdayakan tidak dapat menghancurkan keteguhan hatinya untuk menyembelih Ismail. Maka diajak putranya ke lembah Mina untuk melaksanakan perintah Allah. Dibaringkannya Ismail seperti layaknya seekor hewan yang hendak dipotong. Ketika pisau Ibrahim menyentuh leher Ismail, segeralah Allah berseru:

“Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

 “Wahai Ibrahim engkau telah mentaati perintah-Ku, karena ketaatannmu aku ganti Ismail dengan seekor domba. Dan apa yang kuperintahkan adalah semata ujian yang berat bagimu, dan engkau termasuk orang yang muhsin (Qs.37:104-107). Inilah kisah Ibrahim dan putranya Ismail yang kemudian menjadi tradisi bagi kaum muslimin untuk menyembelih seekor domba (Qs.37:108):

 “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,”

Makna Intrinsik
Kurban –yang secara harfiah berarti mendekatkan– dimaksudkan mendekatkan diri pada Tuhan dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara. Ibadah kurban –papar Jalaludin Rakhmat (1996)- mencerminkan pesan Islam: Anda mendekatkan saudara-saudara Anda yang kekurangan. Dengan berkurban berarti kita dekat dengan mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda disuruh berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila puasa mengajak Anda merasakan lapar seperti orang miskin. Maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti Anda.

Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna, pertama, makna sosial. Untuk membangun makna ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadisnya: “…wa man lahu sa’atun, falam yudlahhi, falâ yaqrabanna mushallânâ, Barang siapa yang memiliki kesempatan rezeki untuk berkurban, kemudian ia tidak melakukannya, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” Dengan ini, Nabi ingin mendidik umatnya agar memiliki kepekaan terhadap sesamanya. Dengan berkurban berarti kita telah menumbuhkan solidaritas sosial.

Rasulullah mengajarkan kita untuk memiliki jiwa sosial. Dan hal ini telah dicontohkan sendiri oleh beliau, yaitu setiap hari raya Idul Adha beliau membeli dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, berbulu putih bersih, bagus fisiknya dan tidak cacat. Kemudian setelah salat dan khutbah beliau menyembelih seekor seraya berkata “…hâzâ min muhammadin wa âli muhammadin, Ya Allah terimalah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad. Lalu Nabi menyembelih seekor lagi dengan berkata: “…hâzâ min ummati muhammadin, Ya Allah terimalah ini dari umat Muhammad.” Rasulullah telah meyembelihkan seekor domba bagi umat Islam yang tidak mampu berkurban. Beginilah model Rasullullah memberikan suri tauladan bagi umatnya, yaitu agar memiliki Islam sosial bukan Islam individual.

Makna yang kedua, makna esensial, bahwa apa yang dikurbankan tidak boleh manusia tetapi sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak mengenal hukum dan norma apapun (Shihab:1997: 415).

Sesungguhnya Ismail yang dikurbankan oleh ayahnya, kata Ali Syariati, hanya simbol dari setiap sesuatu yang melemahkan imanmu, setiap sesuatu yang menghalangi “perjalananmu”, setiap sesuatu yang membuat engkau memikirkan kepentinganmu sendiri, setiap sesuatu yang membuat engkau tidak dapat mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran, setiap sesuatu yang memaksa engkau untuk “melarikan diri”, setiap sesuatu yang membutakan matamu dan telingamu. Ismail hanya simbol dari seorang manusia, benda, pangkat, realita, kedudukan dan “kelemahan dirimu” (1997:101-2). Semua sifat dan kelemahan inilah yang harus dikorbankan, yang harus disembelih dan ditiadakan.

Ismail hanya simbol dari istrimu, pekerjaanmu, keahlianmu, kepuasan nafsu seksualmu, kekuasaanmu, dan lain sebagainya. Ismail hanya simbol dari setiap sesuatu yang merampas kekebasanmu dan menghalangimu, setiap sesuatu yang membuat engkau tidak dapat mendengar dan mengetahui kebenaran, setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindari tanggung jawab; setiap orang yang mendukung engkau untuk memperoleh dukunganmu di kemudian hari (op.cit.,h.120-1). Sifat-sifat demikian inilah yang harus dibunuh, ditiadakan, disembelih, dan dijadikan korban demi mencapai kurban (kedekatan) diri kepada Allah swt. Itu sebabnya Allah mengingatkan: “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai Allah; tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya (Qs.22:37):

 “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Keterangan:
Tulisan ini dimuat di Sinar Harapan, Senin, 9 Januari 2006 dengan judul “Makna Intrinsik Berkurban”.

No comments: