Oleh: Ust. Ayang Utriza Yakin, DEA., PhD.
Pada kesempatan kali ini, saya akan menyampaikan risalah
singkat mengenai “Akhlak Kepemimpinan Rasulullah saw.” Kepemimpinan di sini
berarti kepemimpinan apapun dan dalam tingkat apapun: pemimpin dalam rumah
tangga, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten dstnya., atau paling tidak
pemimpin bagi diri sendiri.
Ada satu ayat di dalam Alquran yang patut kita jadikan sandaran
sebagai dasar kepemimpinan di dalam Islam, yaitu QS. Al-Shâd/38:26. Bismillahirrahmanirrahim. Yâ dâwûdu innâ
ja’alnâka khaliîfatan fil ardli fahkum baynan nâsi bil ‘haqqi, wa lâ tattibi’il
hawâ, fayudillaka ‘an sabîlillâhi, innallazîna yadillûna ‘an sabîlillâhi lahum
‘azâbun syadîdun bima nasû yawmal hisâb.” Artinya, “Wahai Dawud, telah kami
jadikan Engkau khalifah di muka bumi, tegakkan hukum di antara manusia dengan
benar dan jangan Engkau ikuti hawa nafsu yang akan menyelewengkanmu/
menyimpangkanmu dari jalan Allah swt. Sesungguh orang-orang yang menyimpang
dari jalan Allah, bagi mereka azab yang pedih yang mereka lupakan pada hari
perhitungan.”
Di dalam ayat ini Allah menggunakan kata-kata “innâ”, yang
berarti “kami.” Penggunaan “inna”, selain untuk memuliakan Allah dan bentuk
jamak, adalah menunjukkan keterlibatan kita sebagai manusia yang menjadikan
“Dawud” sebagai khalifah. Artinya, Allah melibatkan ‘masyarakat’ pada masa
Dawud di dalam penunjukkan pemimpin dan dalam pengawasannya. Kita bisa ambil
pelajaran dari ayat ini bahwa di dalam kepemimpinan: ada yang memimpin dan ada
yang dipimpin. Itu artinya, menuntut adanya keterlibatan semua pihak. Tegasnya,
masyarakat pun harus ikutserta dan mengawasi jalannya kepemimpinan itu. Apa
yang harus diawasi dalam kepemimpinan itu? AMANAH. Amanah apa yang dibebankan
kepada pemimpin itu, dalam tingkat apapun, dari masyarakat.
Allah swt. berfirman di dalam QS. Al-Ahzâb/33:72, bismillahirrahmanirrahim. Innâ ‘aradlnâl
amânata ‘alas samawâti wal ardli wal jibâli fa’abayna ayyahmilnahâ wa asyfaqna
minhâ, wa hamalahal insânu, innahu kâna zalûman jahûlan. Artinya: “Sesungguhnya
kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi
mereka semua tidak mau dan merasa berat (dengan amanah tersebut), lalu manusia
yang (menerima amanah itu) dan memikulnya, sesungguhnya manusia itu zalim dan
jahil.”
Apakah makna amanah di dalam ayat tersebut? Imam Jalaluddin
al-Suyuthi menjelaskan di dalam tafsirnya al-Durr
al-Mansûr fi al-Tafsîr bi al-Ma’sûr, jilid 6, hlm. 518(?), bahwa kata
amanah berarti bimâ umirû lahu wa mâ nuhû
‘anhu, apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Allah swt. Jadi, amanah
adalah tanggung jawab untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangannya. Artinya, seorang pemimpin harus melaksanakan program apapun untuk
kepentingan umum yang sesuai dengan aturan dan prinsip yang telah Allah
tetapkan di dalam Alquran. Berarti amanah itu berat? Ya, memang amanah itu
berat.
Menunaikan amanah ini penting dan wajib hukumnya bagi setiap
orang yang diberi amanah. Allah swt. berfirman di dalam QS. Al-Nisâ’/4:58. Bismillahirrahmanirrahim. Innallâha
ya’murukum an tu’addul amânâti ilâ ahlihâ, wa izâ hakamtum baynan nâsi, an
tahkumû bil ‘adli (…). Artinya: “Sesungguhnya
Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang ahlinya (yang
berhak menerima amanah itu), dan jika kalian memutuskan suatu persoalan di
antara manusia, putuskanlah dengan adil…”
Jadi, pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang melakukan
suatu hal yang sesuai dengan aturan yang Allah buat. Aturan itu adalah yang
bersifat semuanya baik, antara lain: bersikap adil. Tapi, kira-kira pemimpin
macam apa yang bersifat amanah dan adil ini? Siapa yang menjadi teladan bagi
kita? Tidak lain, tentunya, Rasulullah saw. Berdasarkan QS. Alu-Imran/3:159
bahwa ciri akhlak Rasulullah di dalam memimpin: bersikap lembut, selalu meminta
maaf dan memaafkan, bermusyawarah, dan terakhir memasrahkan hasil akhirnya
kepada Allah swt. (tawakal). Selain keempat sifat terpuji ini, yang paling luar
biasa dari teladan kepemimpinan Rasulullah adalah sikap beliau yang sangat
sederhana.
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah orang yang sangat
sederhana. Anas Ibn Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah hanya punya 1 sho’
(sekitar 500 gram) gandum untuk pagi dan 1 sho’ lagi untuk sore. Jatah gandum
itu untuk memberi makan 9 rumah yang menjadi tanggungjawab Rasulullah. Coba
bandingkan dengan pemimpin kita? Bukan 500 gram beras yang dimiliki untuk
dimakan pada sore hari, tapi 1 ton BBM, gunung emas di papua, hutan di
Kalimantan itu menjadi santapan paginya. Bayangkan, betapa rakusnya pemimpin
kita.
Seorang sahabat meriwayatkan, Abu Thalhah, bahwa Nabi tidak
makan 3 hari. Kalau lapar ia taruh batu di perutnya. Nabi sumpel perutnya
dengan batu untuk menahan lapar. Bandingkan dengan pemimpin kita: bukan
pemimpin yang lapar, bukan pimpinan yang tidak makan 3 hari, tapi rakyat yang
kelaparan, masyarakat yang tidak makan berhari-hari. Tidak ada sama sekali
kepekaan sosial para pemimpin kita.
Kesederhaanaan Rasulullah sebagai pemimpin semakin terbukti
ketika Nabi wafat. Saat Rasulullah wafat, ia tidak meninggalkan apapun.
Diriwayatkan bahwa saat Rasulullah wafat, baju besinya tergadaikan pada seorang
Yahudi untuk mendapatkan satu (wasaq/karung) gandum, anna rasûlûllâh saw. tuwuffiya, yawma tuwuffiya wa dir’uhu marhûnatun
‘inda rojulim minal yahûdi biwasaqin min sya’îrin (akhlaqun nabiyy, abu
al-syaikh al-isbahani). Di dalam riwayat lain, bahwa saat Rasulullah meninggal,
beliau tidak meninggalkan apapun, (wa lâ
dînaran) tidak 1 dinar, (wa lâ
dirhaman) tidak 1 dirham, (wa lâ
‘abdan) tidak budak lelaki, dan (wa
lâ amatan) tidak juga budak perempuan. Coba bandingkan dengan pemimpin
kita: saat memimpin saja dikejar-kejar KPK, masuk penjara akibat kerakusan diri
untuk memuaskan dahaga ingin kaya. Bahkan, mau meningglkan pun masih dikejar
oleh penegak hukum dan kalau mati, nama pemimpin kita menjadi abadi karena
keburukannya, na’uzubillah, pemakan uang rakyat, penindas masyarakat, zalim dan
tiranik sikapnya, tidak peduli dengan masyarakat, yang penting dirinya dan
keluarganya. Seorang pemimpin harus
menjadi teladan bagi yang dipimpin.
Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment