Saturday 22 February 2014

Akhlak Kepemimpinan Rasulullah saw.



Oleh: Ust. Ayang Utriza Yakin, DEA., PhD.

Pada kesempatan kali ini, saya akan menyampaikan risalah singkat mengenai “Akhlak Kepemimpinan Rasulullah saw.” Kepemimpinan di sini berarti kepemimpinan apapun dan dalam tingkat apapun: pemimpin dalam rumah tangga, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten dstnya., atau paling tidak pemimpin bagi diri sendiri.

Ada satu ayat di dalam Alquran yang patut kita jadikan sandaran sebagai dasar kepemimpinan di dalam Islam, yaitu QS. Al-Shâd/38:26. Bismillahirrahmanirrahim. Yâ dâwûdu innâ ja’alnâka khaliîfatan fil ardli fahkum baynan nâsi bil ‘haqqi, wa lâ tattibi’il hawâ, fayudillaka ‘an sabîlillâhi, innallazîna yadillûna ‘an sabîlillâhi lahum ‘azâbun syadîdun bima nasû yawmal hisâb.” Artinya, “Wahai Dawud, telah kami jadikan Engkau khalifah di muka bumi, tegakkan hukum di antara manusia dengan benar dan jangan Engkau ikuti hawa nafsu yang akan menyelewengkanmu/ menyimpangkanmu dari jalan Allah swt. Sesungguh orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah, bagi mereka azab yang pedih yang mereka lupakan pada hari perhitungan.”

Di dalam ayat ini Allah menggunakan kata-kata “innâ”, yang berarti “kami.” Penggunaan “inna”, selain untuk memuliakan Allah dan bentuk jamak, adalah menunjukkan keterlibatan kita sebagai manusia yang menjadikan “Dawud” sebagai khalifah. Artinya, Allah melibatkan ‘masyarakat’ pada masa Dawud di dalam penunjukkan pemimpin dan dalam pengawasannya. Kita bisa ambil pelajaran dari ayat ini bahwa di dalam kepemimpinan: ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Itu artinya, menuntut adanya keterlibatan semua pihak. Tegasnya, masyarakat pun harus ikutserta dan mengawasi jalannya kepemimpinan itu. Apa yang harus diawasi dalam kepemimpinan itu? AMANAH. Amanah apa yang dibebankan kepada pemimpin itu, dalam tingkat apapun, dari masyarakat.

Allah swt. berfirman di dalam QS. Al-Ahzâb/33:72, bismillahirrahmanirrahim. Innâ ‘aradlnâl amânata ‘alas samawâti wal ardli wal jibâli fa’abayna ayyahmilnahâ wa asyfaqna minhâ, wa hamalahal insânu, innahu kâna zalûman jahûlan. Artinya: “Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka semua tidak mau dan merasa berat (dengan amanah tersebut), lalu manusia yang (menerima amanah itu) dan memikulnya, sesungguhnya manusia itu zalim dan jahil.”

Apakah makna amanah di dalam ayat tersebut? Imam Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan di dalam tafsirnya al-Durr al-Mansûr fi al-Tafsîr bi al-Ma’sûr, jilid 6, hlm. 518(?), bahwa kata amanah berarti bimâ umirû lahu wa mâ nuhû ‘anhu, apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Allah swt. Jadi, amanah adalah tanggung jawab untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Artinya, seorang pemimpin harus melaksanakan program apapun untuk kepentingan umum yang sesuai dengan aturan dan prinsip yang telah Allah tetapkan di dalam Alquran. Berarti amanah itu berat? Ya, memang amanah itu berat.

Menunaikan amanah ini penting dan wajib hukumnya bagi setiap orang yang diberi amanah. Allah swt. berfirman di dalam QS. Al-Nisâ’/4:58. Bismillahirrahmanirrahim. Innallâha ya’murukum an tu’addul amânâti ilâ ahlihâ, wa izâ hakamtum baynan nâsi, an tahkumû  bil ‘adli (…). Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang ahlinya (yang berhak menerima amanah itu), dan jika kalian memutuskan suatu persoalan di antara manusia, putuskanlah dengan adil…”

Jadi, pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang melakukan suatu hal yang sesuai dengan aturan yang Allah buat. Aturan itu adalah yang bersifat semuanya baik, antara lain: bersikap adil. Tapi, kira-kira pemimpin macam apa yang bersifat amanah dan adil ini? Siapa yang menjadi teladan bagi kita? Tidak lain, tentunya, Rasulullah saw. Berdasarkan QS. Alu-Imran/3:159 bahwa ciri akhlak Rasulullah di dalam memimpin: bersikap lembut, selalu meminta maaf dan memaafkan, bermusyawarah, dan terakhir memasrahkan hasil akhirnya kepada Allah swt. (tawakal). Selain keempat sifat terpuji ini, yang paling luar biasa dari teladan kepemimpinan Rasulullah adalah sikap beliau yang sangat sederhana.

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah orang yang sangat sederhana. Anas Ibn Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah hanya punya 1 sho’ (sekitar 500 gram) gandum untuk pagi dan 1 sho’ lagi untuk sore. Jatah gandum itu untuk memberi makan 9 rumah yang menjadi tanggungjawab Rasulullah. Coba bandingkan dengan pemimpin kita? Bukan 500 gram beras yang dimiliki untuk dimakan pada sore hari, tapi 1 ton BBM, gunung emas di papua, hutan di Kalimantan itu menjadi santapan paginya. Bayangkan, betapa rakusnya pemimpin kita.

Seorang sahabat meriwayatkan, Abu Thalhah, bahwa Nabi tidak makan 3 hari. Kalau lapar ia taruh batu di perutnya. Nabi sumpel perutnya dengan batu untuk menahan lapar. Bandingkan dengan pemimpin kita: bukan pemimpin yang lapar, bukan pimpinan yang tidak makan 3 hari, tapi rakyat yang kelaparan, masyarakat yang tidak makan berhari-hari. Tidak ada sama sekali kepekaan sosial para pemimpin kita.

Kesederhaanaan Rasulullah sebagai pemimpin semakin terbukti ketika Nabi wafat. Saat Rasulullah wafat, ia tidak meninggalkan apapun. Diriwayatkan bahwa saat Rasulullah wafat, baju besinya tergadaikan pada seorang Yahudi untuk mendapatkan satu (wasaq/karung) gandum, anna rasûlûllâh saw. tuwuffiya, yawma tuwuffiya wa dir’uhu marhûnatun ‘inda rojulim minal yahûdi biwasaqin min sya’îrin (akhlaqun nabiyy, abu al-syaikh al-isbahani). Di dalam riwayat lain, bahwa saat Rasulullah meninggal, beliau tidak meninggalkan apapun, (wa lâ dînaran) tidak 1 dinar, (wa lâ dirhaman) tidak 1 dirham, (wa lâ ‘abdan) tidak budak lelaki, dan (wa lâ amatan) tidak juga budak perempuan. Coba bandingkan dengan pemimpin kita: saat memimpin saja dikejar-kejar KPK, masuk penjara akibat kerakusan diri untuk memuaskan dahaga ingin kaya. Bahkan, mau meningglkan pun masih dikejar oleh penegak hukum dan kalau mati, nama pemimpin kita menjadi abadi karena keburukannya, na’uzubillah, pemakan uang rakyat, penindas masyarakat, zalim dan tiranik sikapnya, tidak peduli dengan masyarakat, yang penting dirinya dan keluarganya.  Seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi yang dipimpin.

Wallahu a'lam.

No comments: