Friday 21 September 2012

Merayakan Idul Fitri, Merayakan Keikhlasan

Khutbah Idul Fitri 1 Syawwal 1433 H. (19 Agustus 2012)
di KJRI Marseille, Prancis.

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lilLâhil hamd
Bapak/Ibu, saudara/i dan sahabat dalam rasa damai yang penuh kesyukuran

Setelah satu bulan penuh kita menjalankan ibadah puasa Ramadan, pagi ini kita memasuki hari raya Idul Fitri. Secara kebahasaan idul fitri berarti kembali kepada kesucian, karena pada hari ini kita kembali suci sebagaimana saat kali pertama Ibu melahirkan kita. Tidak berdosa. Tidak bernoda. Putih. Bersih. Kesucian tersebut harus kita jaga, karena ialah yang akan menerangi hati kita dalam menjalani kehidupan pasca-ramadan dalam 11 bulan yang akan datang. Allah swt. berfirman di dalam Alquran surat al-Rûm/30:30 mengenai kesucian manusia ini:

“Fitratallâhi fatarannâsa ‘alayha, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu...”.

Saat mendengar ayat ini, Umar Ibn Khattab ra. bertanya kepada Muadz Ibn Jabal ra.: “ma qiwâmu hazihil ummah” (Apakah tiang umat Islam ini?). Muadz menjawab: salâsun wa hunna al-munjiyyât, tiang umat Islam itu ada 3 dan ketiganya adalah penyelamat, yaitu ikhlas, salat, dan taat.

Saat Muadz Ibn Jabal menjelaskan ikhlas, beliau mengatakan wa huwa al-fitrat allâtî fatarannâsa ‘alayhâ, ikhlas itu adalah fitrah manusia dan atas fitrah tersebutlah Allah menciptakan manusia . Jadi, menurut Muadz, sahabat Rasulullah saw. yang ahli tafsir Alquran, makna fitrah di dalam ayat di atas (QS.30:30) adalah IKHLAS. Dari penjelasan tersebut, kini kita mendapat pengertian baru bahwa idul fitri berarti kembali kepada keikhlasan.

Memang salah satu tujuan puasa Ramadan yang baru saja kita lalui adalah kita dilatih membiasakan diri menjadi orang berhati ikhlas. Rasulullah bersabda: sesungguhnya Allah berfirman “Kullu ‘amalibni âdama lahu, illas sawm, fa’innahu lî, fa’ana ajzi bihi”, semua perbuatan anak Adam itu adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untukku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.

Hanya Allah semata yang Maha Mengetahui apakah kita benar-benar berpuasa atau tidak. Kita tidak makan dan minum hanya untuk Allah dan bukan untuk mencari pujian makhluk. Di sini kita dilatih untuk ikhlas. Tetapi, mungkin, keikhlasan itu telah hilang dari hati kita disebabkan perjalanan kehidupan. Diri menjadi pamrih. Diri hanya mencari kekaguman dan pujian. Dengan berpuasa, kita dilatih untuk ikhlas.

Lalu apakah sebenarnya ikhlas itu?

Alquran menjelaskan bahwa ikhlas adalah adalah khusyuk kepada Allah dalam ketaatan, memurnikan bagiNya dalam ketuhanan, mengesakanNya dalam ibadah, dan tidak menjadikan sekutu bagiNya di dalam ibadah . Begitu pentingnya makna Ikhlas ini, Allah mengkhususkan satu surat dengan menamakannya surat al-Ikhlas.

Jika kita perhatikan dengan seksama, maka isi surat al-Ikhlas ini adalah tentang keesaan Allah swt. Ikhlas berarti hanya mencukupkan diri kepada Allah swt. saja dalam segala hal, karena Ialah Tuhan yang Maha Esa yang menciptakan kita, kepadaNyalah semua urusan kembali. Ikhlas adalah menerima Allah swt. beserta seluruh kebenaranNya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLâhil hamd
Bapak/Ibu, saudara/i dan hadirin sekalian yang sedang memperindah dirinya

Kita harus bersyukur kepada Allah telah menjadikan bulan Ramadan sebagai bulan pelatihan diri untuk menjadi ikhlas. Dalam kehidupan masa kini yang penuh dengan beban dalam segala hal, keikhlasan memainkan peranan penting bagi kesehatan jiwa dan badan kita. Tanpa keikhlasan, kita akan menjadi pribadi yang stres (tertekan) dan bisa berujung pada bunuh diri atau paling tidak sakit jiwa.

Banyak penyebab stres dan hal ini berlaku bagi semua orang. Kemacetan lalu lintas di jalan raya, penuh-sesak di dalam angkutan umum, jadwal keberangkatan yang tertunda, kebisingan sepeda motor dan mobil, suara telepon selular, tangisan dan rengekan anak kecil, suara ambulan, beban pekerjaan di kantor yang menumpuk, kritik dari pimpinan, bentakan dari atasan, tetangga yang ribut, beban pekerjaan di rumah tangga, keluhan isteri, kemarahan suami, dan seterusnya.

Coba bayangkan, betapa tidak tertekannya kita dengan kondisi kehidupan seperti ini. Stres adalah penyakit abad ini yang berpengaruh pada tubuh. Akibat stres, kita bisa terkena berbagai macam penyakit : kanker, hati, pusing, sesak nafas, serangan jantung, pencernaan, pankreas, alergi, gatal-gatal dan lainnya.

Dengan ikhlas, kita bisa terhindar dari terkena penyakit-penyakit tersebut. Karena kita yakin bahwa semuanya sudah ada yang mengatur, yaitu Allah swt. Yang kita bisa lakukan adalah usaha sebaik mungkin dan sisanya kita percayakan kepada Allah swt. Inilah makna ikhlas yang sesungguhnya.

Sebaliknya, orang yang belum berhati ikhlas, selalu berburuk sangka dan marah kepada Allah. Orang yang belum mempunyai hati yang ikhlas selalu menggerutu atas kekurangannya: ia sudah berdoa, tapi nasibnya tak berubah.

Seorang yang sedang sekolah dan kuliah terkadang marah dan menggerutu kepada Allah swt. mengapa hasil ujiannya atau penelitiannya tidak bagus, tanggapan teman atau pembimbing tak seperti yang diharapkan.

Orang yang sedang mencari pasangan hidup berdoa kepada Allah swt. agar diberikan jodoh yang cantik bagi lelaki dan yang ganteng bagi perempuan, tapi ia menikah dengan perempuan yang menurutnya kurang cantik atau lelaki yang kurang ganteng.

Orang yang berharap mendapatkan pekerjaan tertentu, tetapi memperoleh pekerjaan yang tak disenanginya, lalu marah, menggerutu, dan stres.

Orang yang baru dipecat, diberhentikan, atau dipindahtugaskan menggerutu dan marah kepada Allah swt, menyalahkan dirinya sendiri, mengapa ia memiliki pimpinan dan atasan yang tak berperikemanusiaan.

Isteri marah kepada Allah swt., karena suaminya berselingkuh, padahal ia sudah berbuat baik. Suami marah karena isterinya tidak melayaninya dengan baik, padahal ia sudah memenuhi kewajibannya.

Mengapa orang lain kaya, kita miskin. Mengapa orang lain punya rumah bagus, kita masih sewa. Mengapa orang punya mobil, kita masih naik angkutan umum. Kita merasakan ketidakadilan menimpa kita. Akibatnya, kita marah dan menggerutu kepada Allah swt. dan akhirnya kita stres sendiri.

Di dalam mata lahir kita, mungkin apa yang kita terima dan rasakan adalah bentuk ketidakadilan yang nyata, tetapi di mata Allah swt. hal tersebut adalah yang terbaik. Kita tidak tahu apa hikmah di belakang semua kejadian yang kita anggap sebagai musibah.

Bagi pelajar dan mahasiswa yang tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkan, Allah ingin menegur bahwa mungkin dalam proses belajar tersebut dipenuhi dengan ketidakjujuran, seperti menyontek dan menjiplak.

Bagi yang mengeluh isterinya tak sesuai yang diharapkan atau suaminya tak seperti yang dibayangkan, tetapi dalam pandangan Allah mereka adalah pasangan yang terbaik.

Mungkin isteri yang dianggap kurang itu justeru meninggikan derajat sang suami di hadapan Allah swt. Isteri tersebut menjadi kunci keberhasilan di dalam kehidupan keluarga. Isteri tersebut membawa kedamaian dan kebahagian di tengah keluarga.

Mungkin suami yang dianggap kurang itu, justeru menjadi suami yang bertanggungjawab dan dapat menuntun isteri dan anak-anak lebih dekat kepada Allah swt.

Bagi mereka yang baru saja diberhentikan atau dipindahtugaskan atau diperlakukan tidak adil, mungkin sedang Allah selamatkan dari pemimpin atau atasan yang zalim, yang hanya mementingkan golongan, partai, dan keluarganya saja. Allah selamatkan kita dari kezaliman sang pemimpin atau atasan kita dengan cara yang Allah telah gariskan.

Apa yang kerap kita sebut sebagai musibah, bencana, dan kesialan di dalam kehidupan kita, sebenarnya hanya undangan untuk menyelami dalamnya kehidupan. Masalah adalah anak tangga menuju kebesaran pribadi. Dengan keikhlasan kita dapat melihat kembali kebaikan yang ada pada setiap gerak kehidupan kita. Orang berhati ikhlas akan tersenyum pada setiap perjalanan kehidupannya.

Dalam kehidupan, kita punya banyak keinginan. Ingin berhasil. Ingin kaya. Ingin rumah mewah. Ingin mobil bagus. Ingin harta berlimpah. Ingin isteri cantik yang salehah. Ingin suami ganteng yang perhatian dan bertanggungjawab. Ingin punya banyak anak. Ingin pekerjaan layak. Ingin jabatan tinggi. Ingin dipuji. Ingin dihargai. Ingin dikagumi. Ingin terkenal, dan keinginan lainnya.

Keinginan memang energi kemajuan, tetapi tanpa pengendalian diri, ia berubah menjadi keserakahan. Mata lahir kita selalu menginginkan apa yang dimiliki orang lain. Kita selalu mencari kehidupan yang seharusnya dan bukan kehidupan yang sebagaimana adanya. Semua ini akibat dari hati yang belum ikhlas. Hati kita belum bisa menerima keputusan Allah swt. Kita belum mengesakan Allah swt., belum mentauhidkan diri kita bahwa hidup kita sudah ada yang mengatur.

Wa mâ ‘umirî illâ liya’budûllâha mukhlisîna lahud dîna hunafâ lahuddina…
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus… (QS. Al-Bayyinah/98:5).

Dengan memeluk keikhlasan, maka semua bentuk keinginan akan terkendali. Kolam kehidupan yang keruh akibat keinginan dan keserakahan akan menjadi jernih setelah dibersihkan oleh keikhlasan. Ikhlas membuat bunga-bunga keindahan hidup berkembang. Kalau keseharian sudah diisi dengan keikhlasan, yang ada hanya keindahan dan kesempurnaan dalam hidup.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLâhil hamd
Bapak/Ibu, saudara/i dan hadirin sekalian yang sedang berbahagia

Ikhlas tersebut terdapat di dalam hati yang sehat. Hati yang sehat menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah adalah hati yang bersih dari semua keinginan (syahwat) dan keragu-raguan (syubhat) yang bertentangan dengan perintah Allah swt. Hati yang sehat adalah hati yang bersih selain dari Allah swt. dan hanya menyembah Allah swt.

Menurut Huzaifah Ibn al-Yaman hati yang sehat ini adalah qalbun ajradun, yaitu hati yang tunggal yang hanya mengesakan Allah swt. dan dan bersih selain dari yang benar (hak). Di dalam hati ini terdapat cahaya yang menyinari pemilik sang hati . Inilah yang disebut hati nurani. Ia menerangi sang pemilik hati agar terus di jalan Allah swt. Oleh karena itu, Rasulullah saw. dalam suatu kesempatan bersabda ‘istafti qalbaka’ “bertanyalah kepada hatimu.” Tentu, bertanya kepada hati yang bersih akan menunjukkan jalan kebenaran.

Di dalam Alquran hati yang sehat disebut qalbun salim. Allah swt. berfirman di dalam QS. Al-Syu’arâ’/26:88-89

‘yawma la yanf’au walu wa la banûn. Illâ man atâ allâha biqalbin salîm’
“hari di mana tidak bermanfaat harta dan anak-anak, kecuali bagi yang datang kepada Allah dengan qalbun salim”.

Apakah qalbun salim itu?

Qalbun salim adalah hati yang bersih, hati yang tidak mencari apa-apa kecuali rida Allah swt, hati yang tidak bergantung kepada makhluk, hati yang tidak menginginkan gemerlap dan perhiasan dunia kecuali seperlunya saja. Kemewahan dunia tidak sampai masuk ke dalam hatinya. Orang yang memiliki qalbun salim itu menganggap hidup dunia seperti penyebrang, pejalan kaki saja… seperti sabda Rasulullah saw. kun ka’annaka âbiru sabîlin, jadilah engkau seakan-akan penyebrang jalan dalam hidup di dunia ini. Hanya sebentar. Hanya lewat. Demikianlah hati orang yang sehat yang di dalamnya ada keikhlasan. Dengan keikhlasan itu, ia menjalani kehidupan dengan sesungguhnya, tetapi ia akan memeluk hasil akhirnya apa adanya.

Imam al-Gazali berkata: “al-nâsu kulluhum mawtâ, illâl âlimûn, wal ‘âlimûn niyâmun illal ‘âmilûn, wal ‘âlimûna mughtarrûn illal mukhlisûn”.

A. Semua manusia itu mati, kecuali orang yang berilmu. Artinya, manusia tak ada artinya, jika tak berilmu. Orang tak berharga, jika tak ada ilmu. Orang beragama tetapi tidak ada ilmunya seperti orang mati.

B. Orang berilmu itu mati, kecuali orang yang melaksanakan ilmu tersebut. Artinya orang yang berilmu, tetapi tidak melaksanakan apa yang ia ketahui, maka tak ada gunanya. Ia tahu, hanya sebatas tahu, tapi tidak dijalankan, tidak dilaksanakan, dan tidak diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Orang berilmu, tapi tak menjalankan ilmunya, maka seperti orang tidur, tak berguna.

C. Orang yang telah melaksanakan apa yang diketahuinya, tetapi tidak ikhlas, maka ia tertipu. Artinya, bisa jadi saat melaksanakan suatu perbuatan, bukan rida Allah swt. yang dicari, bukan semata-mata untuk Allah swt., tapi untuk makhluk. Ingin dipuji. Ingin dikagumi. Contoh: orang yang peri berhaji bukan karena Allah, tapi ingin dipanggil haji. Orang yang sedekah bukan karena Allah swt., tapi karena ingin terkenal sebagai dermawan.

Jadi, orang ikhlas itu adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmu itu, dan melakukannya hanya untuk Allah swt. semata. Ia tidak mencari rida makhluk, tidak untuk dipuji dan tidak untuk dikagumi.

Apa yang kita jumpai di tengah masyarakat kita sekarang ini adalah karena kita tidak ikhlas menjalani kehidupan ini. Kita ingin lebih dari yang sepatutnya dalam segala hal. Hal yang mencolok adalah mengenai harta. Kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta. Asal kaya, walau haram. Asal beli walau tak butuh. Biar keren walau jual harga diri. Kita jadi serakah dan rakus akibat mata ini yang menginginkan apa yang orang lain miliki.

Kita tidak ikhlas melihat orang lain lebih kaya dari kita, lebih pandai dari kita, lebih tinggi jabatannya dari kita, lebih berhasil dari kita. Kita juga tidak ikhlas melihat perbedaan. Kita tidak ikhlas ada orang lain berbeda agama. Kita tidak ikhlas melihat orang lain punya pendapat dan pandangan yang berbeda walau dalam satu agama. Kita ingin orang lain sama seperti kita.

Tentu, Islam menyuruh umatnya harus kaya, wajib pintar, mesti menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, bekerja sekeras mungkin, berkarya sebaik mungkin, tetapi dengan cara yang benar dan baik: tidak melanggar apa yang agama dan hukum larang. Ikhlas bukan berarti pasif, menyerah, menerima apa adanya tanpa usaha.

Ikhlas adalah menerima kekurangan yang ada di dalam diri dan bekerja dengan keunggulan yang ada di dalam diri. Ikhlas adalah menerima suatu kekuatan di dalam diri dan memaksimalkan kelebihan yang dimiliki. Ikhlas adalah tegas dan bukan lemah. Ikhlas adalah memeluk hasil akhir dan menerimanya seraya meyakini inilah yang terbaik bagi dirinya dan inilah yang telah ditentukan oleh Allah swt.

Dengan hari raya Idul Fitri ini, kita merayakan kembalinya keikhlasan di dalam diri kita, di dalam hati kita.

الله أكبر بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم. ونفعنى وإيّاكم بتلاوته إنه هو الذكر الحكيم. فاستغفروا الله يغفرلكم إنّه هو البر الرحيم

No comments: