Saturday 26 November 2011

HARI KIAMAT DALAM ISLAM

QS. Surat al-Naba/78 
Ayang Utriza NWAY

Surat al-Naba, surat yang ke-78 yang berarti kabar, diturunkan di Mekah.

1.  Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?

Yang bertanya di sini adalah orang-orang musyrik. Ayat ini adalah jawaban terhadap orang musyrik yang selalu bertanya-tanya, tentang apa ? Ayat ke-2 menjelaskan


2.  Tentang berita yang besar,

Mereka bertanya mengenai al-naba al-azhîm, berita besar. Menurut Qatadah dan Ibnu Zayd berita besar di sini adalah kebangkitan setelah kematian, sementara menurut Mujahid adalah Alquran. Ibnu Katsir memilih pendapat pertama, yaitu kebangkitan setelah kematian. Hal ini diperkuat oleh ayat ke-3, yaitu:


3.  Yang mereka perselisihkan tentang ini.

Sikap orang-orang terhadap hari berbangkit ada 2: ada yang percaya (mukmin) dan ada yang tidak percaya (kafir). Mereka yang beriman percaya bahwa ada hari kiamat, sementara orang-orang kafir ingkar terhadap kepastian datangnya hari kiamat. Terhadap orang-orang yang tidak percaya terhadap hari kiamat Allah berfirman:

4.  Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui,
5.  Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka Mengetahui.

Kedua ayat ini menggambarkan ancaman yang sangat serius dan janji yang pasti dari Alalh. Kalau mereka tidak percaya, tidak apa-apa, tapi lihat nanti mereka pasti akan tahu betapa hari kiamat itu benar adanya. Kapan mereka akan mengetahui? Nanti setelah meninggal, mereka benar-benar akan mengetahui bahwa hari berbangkit atau kiamat itu benar adanya. Hal ini sama seperti kita, kalau kita sudah memberitahu seseorang akan bahaya yang akan terjadi, jika melakukan hal tertentu yang kita sudah mengetahui, namun orang yang kita beritahu tidak tahu tidak mau mengerti, maka kita sering mengatakan “Lihat saja nanti, kamu juga akan tahu…”. Di ayat selanjutnya, Allah mengajak kita untuk berfikir akan keagungannya dan seluruh anugerah yang Allah telah berikan kepada kita. Ini semua untuk mengingatkan kita akan kebesaranNya.


6.  Bukankah kami Telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,

Allah telah jadikan bumi ini hamparan yang luas untuk semua makhluk ciptaannya. Allah ciptakan benua yang luas dengan daratannya untuk ketentraman umat manusir.


7.  Dan gunung-gunung sebagai pasak?,

Allah ciptakan gunung-gunung di seantero dunia sebagai penyanggah bumi, sebagai paku bumi, atau dalam istilah arsitektur: gunung-gunung ini berfungsi sebagai ‘cakar ayam’ agar kuat untuk menopang beban yang ada di atasnya. Demikian juga gunung-gunung, mereka menopang bumi agar kuat menopang beban yang ada di atas, agar bumi tidak goyang, tidak goyah.

8.  Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan,

Allah jadikan manusia berpasang-pasangan. Allah menciptakan lelaki dan perempuan. Lalu dengan cara yang sah dan halal yaitu pernikahan, kita dapat menikmati hasil dari ciptaan Allah ini. Dari Pernikahan ini lahirlah anak-keturunan.


9.  Dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat,

Allah jadikan tidur kita sebagai istirahat setelah seharian penuh bekerja keras, capek ke sana dan ke mari.

10.  Dan kami jadikan malam sebagai pakaian,

Allah jadikan malam ini sebagai pakaian. Diibaratkan malam ini adalah selimut untuk tidur kita agar nyenyak dan keesokan harinya, ketika azan subuh memanggil, badan kita sudah enak dan segar sehingga kita dapat beraktifitas lagi seperti sediakala. Malam itu ibarat tubuh kita yang butuh pakaian untuk menutupinya. Demikian juga jagat raya dan seisisinya seperti tubuh yang butuh pakaian. Pakaian untuk alam ini adalah malam. Dengan adanya malam, dunia dapat istirahat dari eksploitasi manusia di siang hari.

11.  Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,

Allah jadikan siang untuk kehidupan. Siang adalah wahana dan sarana umat manusia untuk bekerja dan mendapatkan hasil yang diinginkan. Di siang hari semua aktifitas dilakukan.


12.  Dan kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh,

Allah telah menciptakan tujuh langit yang sama besar, luas, tinggi dan kuatnya yang Allah hiasi dengan bintang-bintang dan benda-benda planet lainnya, demikian ungkap Ibnu Katsir. Hamka mengatakan bahwa tujuh adalah angka yang menandakan banyaknya jumlah tersebut dan karenanya bahwa Allah telah menciptakan langit banyak. Ada Tujuh langit, dari langit terbawah hingga teratas. Menurut Abdullah Yusuf Ali bahwa angka tujuh merupakan simbol mistik: bahwa ada bermacam-macam tingkatan spiritualitas.

13.  Dan kami jadikan Pelita yang amat terang,

Pelita yang amat terang ini maksudnya adalah matahari (al-syams al-munîrat), jelas Ibnu Katsir dan Abdullah Yusuf Ali (that is, the sun). Matahari ini ibarat pelita yang besar yang berfungsi menerangi sesuatu yang gelap. Dan matahari menerangi bumi dan seisinya. Wahhâj di sini para mufassar mengatakan sesuatu yang menyala amat terang cahayanya, sementara menurut Ibnu Abbas bersinar kemilau (safwat al-tafâsîr).

14.  Dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah,

Kata mu’tsirât di sini memiliki beberapa arti, pertama, menurut Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Muqatil, Kalbi, Zayd Ibn Aslam dan anaknya Abdurrahman berarti ‘angin.’ Mengartikan mu’tsirat dengan al-riyâh, berarti angin, maksudnya dengan angin itu akan membuat berlimpah hujan dari awan, yang mendorong awan hingga turun hujan. Kedua, menurut Ali Ibn Abi Talhah, Ibnu Abbas, Ikrimah, Abu al-‘Aliyah, al-Dlahak, Hasan, Rabi’ Ibn Anas, Tsawri, Ibnu Jarir dan al-Farrâ’ kata mu’tsirat berarti awan. Menurut Qatadah mu’tsirat berarti langit, bagi Ibnu Abbas pendapat ini aneh. Ibnu Abbas sendiri memilih arti mu’tsirât sebagai awan. Mayoritas mufassir mengartikan mu’tsirat sebagai awan. Sajjâj menurut Tsawri ‘terus-menerus’, sementara menurut Ibnu Zayd ‘banyak,’ adapun menurut Ibnu Jarir berarti tercurah terus-menerus (al-sabbu al-mutatâbi’). Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa ini adalah kekuasaan Allah dan kemurahannya yang telah menciptakan 4 kelompok, yaitu 1. Alam sekitar (ayat 6-7), 2. Alam fisik, mental dan spiritual diri manusia (ayat 8-11), 3. Bintang dan matahari (ayat 12-13), 4. Saling keterkaitan antara bumi, air dan langit dalam lingkaran air, awan, hujan, kebun. Semua ini melayani bumi dengan caranya masing-masing untuk manfaat kita semua.

15.  Supaya kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan,

Dengan air yang tercurah dari awan akan tumbuh biji-bijian (habb) seperti padi, jagung, kentang, mentimun dll yang darinya manusia atau binatang dapat mengambil manfaat. Dari air hujan tadi juga, akan tumbuh berbagai tetumbuhan, selain biji-bijian, baik sayur-mayur atau buah-buahan. Nabâtan berarti, kata Ibnu Katsir, sayuran hijau yang dimakan mentah-mentah.

Friday 18 November 2011

DOA BERSYUKUR RASULULLAH SAW.


Allâhumma a‘innî ‘alâ zikrika wa syukrika wa husni ‘ibâdatika

“Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa dapat mengingatMu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah untuk-Mu dengan baik.”


Allâhumma, innî a‘uzubika min zawâli ni‘matika, wa fuj’ati niqmatika, wa tahawwuli ‘afiyatika, wa jami‘i sakhotika

“Ya Allah, aku berlindung dari hilangnya nikmat-Mu, cepatnya azab-Mu, pindahnya kesehatan dari-Mu, dan semua murka-Mu.”


(Ayang Utriza NWAY, diambil dari kitab al-Syukr karya Imam Ibn Abî al-Dunyâ)

INDAHNYA HIDUP DENGAN SYUKUR


Oleh: Ayang Utriza NWAY

 « …Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu… ".
(QS. Ibrâhîm/14 :7)

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.“
(QS. Al-Baqarah/2:152)

Diriwayatkan oleh Yahya Bin Ya’la dari Abu Khabab dari Atha’ yang berkata “Aku bersama Ubaid Bin Umair mengunjungi Aisyah ra. Dan berkata kepadanya,
“Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Anda lihat pada Rasulullah saw.!
Beliau mengangis dan bertanya “Adakah yang beliau lakukan yang tidak mengagumkan?
Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidur hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku.
Setelah beberapa saat, beliau berkata “Wahai putri Abu Bakar, izinkalah aku bangun untuk beribadah kepada Tuhanku!“
Aku menjawab “Saya senang berdekatan dengan Anda, tapi aku mengizinkannya.“
Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudlu dengan mencucurkan banyak air, lalu salat.
Beliau mulai menangis hingga ari matanya membasahi dadanya, kemudian beliau rukuk dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis.
Terus-menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk salat subuh.
Aku bertanya kepada beliau “Apakah yang menyebabkan Anda menangis wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?“
Beliau menjawab “Tidakkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis dedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.“ (QS. Al-Baqarah/2:164)[1].


Rasulullah adalah contoh pribadi yang bersyukur atas apa yang Allah anugerahkan kepadanya, termasuk nikmat alam semesta yang diberikan kepada manusia. Dengan adanya alam ini, kita hendaknya dapat berfikir betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita. Nikmah inilah yang akan Allah tanyakan kepada kita di hari penghitungan, sebagaimana firman Allah swt.:

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).“ (QS. Al-Takâsur/102:8).


Kemanakah kita gunakan nikmat yang Allah berikan. seperti diriwayatkan al-Baghawi dalam tafsirnya[2] bahwa nikmat di sini berarti:

·         Ibnu Mas’ud berkata yaitu nikmat aman dan sehat
·         Qatâdah berkata sesunguhnya Allah bertanya semua nikmat yang Allah berikan kepada setiap orang.
·         Ibnu ’Abbas berkata yaitu nikmat sehat badan, pendengaran, penglihatan. Allah akan menanyakan hambanya mereka menggunakannya untuk apa.
·         Ikrimah berkata yaitu nikmat kesehatan dan kelapangan
·         Said Bin Jubayr berkata yaitu nikmat kesehatan, kelapangan, dan harta.
·         Dari Abu Hurayrah, Rasulullah bersabda „“Hal pertama dari nikmat yang ditanyakan Allah kepada seorang hamba adalah: bukankah telah kami sehatkan badanmu? Memberimu minum dari air yang dingin?.
·         Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda “Dua nikmat yang sering dilupakan manusia: nikmat sehat dan lapang.“

Semua nikmat yang Allah berikan kepada kita akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah: bersyukurkah atau malah mengingkari nikmat itu? Lalu apakah syukur itu?

Kata Imam al-Ghazali syukur adalah isti’mâl al-ni’mah fî al-tharîq alladzî khuliqa lahu, yaitu menggunakan nikmat di jalan yang diciptakan untuknya[3]. Jadi, syukur adalah menggunakan satu hal sesuai dengan maksud dan tujuan diciptakan hal tersebut. Hakikat syukur kata Imam al-Qusyairi adalah memuji Sang Pemberi kebajikan dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan kepadanya. Bersyukur, kata sufi Junayd al-Baghdadi, adalah bahwa engkau memandang dirimu tidak layak menerima nikmat tersebut.

Syukur itu harus diwujudkan dengan tiga hal[4]:

  1. Dengan hati, yaitu merasakan kebaikan yang Allah berikan dan mengingat Allah di dalam hati bahwa Dia-lah yang memberikan semua nikmat itu, dan tidak melupakannya dengan cara terus berzikir atau mengingat Allah. Bersyukur dengan hati berarti terus-menerus memuliakan Allah swt.
  2. Dengan lisan, yaitu mengucapkan syukur dengan memuji Allah, seperti Alhamdulillah. Syukur dengan lisan berarti pengakuan atas anugerah yang Allah berikan.
  3. Dengan tubuh, yaitu menggunakan nikmat yang Allah berikan untuk ketaatan kepada-Nya dan tidak menggunakannya untuk hal-hal yang maksiat. Syukur dengan tubuh berarti mengambil sikap setia dan mengabdi kepada Allah. Misalnya, diciptakan kaki untuk berjalan, diciptakan mata untuk melihat, diciptakan kuping untuk mendengar ; semuanya digunakan dalam hal-hal yang baik dan positif, dan bukan sebaliknya : kaki diciptakan bukan  untuk berjalan ke tempat-tempat maksiat, untuk menendang orang, menginjak hak-hak orang, mata diciptakan bukan untuk melihat hal-hal yang haram, memelototi orang, memandang rendah orang ; kuping diciptakan bukan untuk mendengar pembicaraan yang tidak berguna dstnya.


Allah menaruh perhatian amat penting bagi orang-orang yang bersyukur ini, karena dari seluruh umat Islam yang bersyukur hanya sedikit sekali, sesuai dengan firmannya.

«…Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. (QS. Saba/34 :13)


Nabi Musa atau Daud bertanya “Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan bersyukur itu sendiri adalah nikmat dari-Mu?“ Allah mewahyukan kepadanya “Sekarang, engkau telah bersyukur kepada-Ku.[5]“ Nabi Idris as. Memohon dipanjangan usianya, ketika ditanya mengapa ia meminta kepada Allah hal itu, Nabi Idris menjawab “Agar aku dapat bersyukur kepadanya, karena selama ini aku berjuang hanya untuk memperoleh ampunan.[6]

Para sufi berkata “Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah bersyukur atas apa yang tidak ada. Orang yang bersyukur adalah berterimakasih atas pemberian, tetapi orang yang sangat bersyukur adalah berterimakasih karena tidak diberi. orang yang beryukur manakali anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterimakasih manakali anugerah ditunda[7].

Mengapa syukur itu begitu penting? Karena dengan bersyukur saja, Allah akan menambah nikmat, sebagaimana firman Allah swt:

“...dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.“ (QS. Al Imrân/3:144)


Allah akan menambah nikmat kepada kita, jika kita mensyukuri nikmat itu untuk dekat kepada Allah, melaksanakan perintahan dan menjauhi larangannya, sesuai dengan firman Allah:

« …Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu… ". (QS. Ibrâhîm/14 :7)



[1] Al-Qusyairi, op.cit., hlm. 194-195.
[2] Abû Muhammad al-Husayn Ibn Mas’ûd al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, Beirut : Dâr Ibn Hazm, 1423 H./2002 M., hlm.1430-1.
[3] al-Ghazali, Mukhtasar Ihyâ ‘Ulumiddîn, Beirut :Dâr al-Fikr, 1414 H/1993 M., hlm. 205-207.
[4] al-Ghazali, op.cit., 205-6, dan al-Qusyairi, Risalatul Qusyairiyyah, terj. M. Lukmanul Hakiem, Surabaya:Risalah Gusti, 2000, hlm. 195-196.
[5] al-Ghazali, op.cit., hlm. 206 dan al-Qusyairi, op.cit., hlm. 197
[6] al-Qusyairi, op.cit., hlm. 199
[7] al-Qusyairi, op.cit., hlm. 196-197

Sunday 13 November 2011

Doa Tahun Baru Hijriah, 1 Muharram


Menjelang Tahun Baru Hijriyyah 1 Muharram 1433 H. yang jatuh pada hari Minggu 27 November 2011, ini adalah doa malam tahun baru:

Allâhumma antal ‘abadiyyul qadîmul awwalu, wa 'alâ fadhlikal ‘azhîm wa jûdikal mu'awwal, wa hâzâ 'âm jadîd qad aqbala 'alaynâ. Nas'alukal 'ishmah fîhi minasy syaytânir rajîm wa awliyâ'ihi wa junûdihi, wal 'awna 'ala hâzihin nafsil ammârati bis sû'i wal isytighâl bimâ yuqarribûna ilayka zulfâ yâ zal jalâli wal ikrâm.

Ya Allah, Engkau yang Maha Abadi, yang Maha Qadim dan yang Maha Awal, dengan karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang tinggi, ini adalah tahun baru yang baru tiba kepada kami, kami memohon kepada-Mu perlindungan dari setan, teman-teman dan bala tentaranya yang terkutuk, kami memohon kepada-Mu pertolongan atas jiwa kami yang selalu condong kepada keburukan, kami memohon kepada-Mu kesibukan apapun yang mendekatkan kami kepada-Mu, wahai Yang Maha Agung dan Mulia.
(Ayang Utriza)


Thursday 3 November 2011

Makna dan Pesan Berkurban

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban di Indonesia merupakan hari raya besar kedua setelah Hari Raya Idul Fitri. Sebaliknya, bagi masyarakat Muslim-Arab di Timur Tengah dan di Afrika, Idul Adha adalah hari raya besar pertama, sementara Idul Fitri sebagai hari raya besar kedua. Idul Adha dilihat sebagai hari raya besar yang lebih penting dari Idul Fitri, karena di dalamnya telah merekam kejadian penting.  

Idul Adha adalah hari untuk mengenang kembali peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayahandanya Nabi Ibrahim. Kejadian tersebut merupakan batu ujian ketaatan Ibrahim kepada Allah swt. Di kemudian hari, pengurbanan ini menjadi tradisi bagi umat Islam untuk menyembelih hewan kurban baik berupa kambing maupun sapi setiap tanggal 10 Dzulhijah dan hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

Sejarah berkurban
Ali Syariati (1997) menjelaskan bahwa sejarah berkurban diawali pada saat Nabi Ibrahim merasakan kesepian. Karena hingga umurnya mencapai satu abad, ia tak kunjung dikaruniai anak. Hal ini disebabkan istrinya, Sarah, yang mandul. Ibrahim hanya dapat berdoa “Ya Tuhanku karuniailah aku seorang anak yang salih” (Qs.37:100).

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”

Selang beberapa waktu, Allah menjawab keluh kesah dan rintihan Ibrahim dengan mengaruniakan seorang putra bernama Ismail (dari Bahasa Ibrani yisma -mendengar- dan il -tuhan- yang berarti: Tuhan mendengar) melalui hamba perempuannya yang bernama Hajar. Namun di tengah kebahagiaan dan kegembiraannya itu, Allah kembali menguji Ibrahim dengan perintah melalui mimpi untuk menyembelih anak yang dikasihinya.

 “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur yang sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Begitu menerima wahyu Allah itu, Ibrahim hamba Allah yang paling patuh dan tokoh pemberontak yang paling terkenal di dalam sejarah gemetar dan goyah sekan-akan hendak roboh, dan seakan-akan tokoh sejarah yang tak terkalahkan itu sedang mengalami kehancuran. Batinnya sangat guncang menerima wahyu itu. Bayangkan, kekayaan apa yang lebih berharga ketimbang anak? Tetapi wahyu tersebut adalah perintah Allah, Ibrahim tidak dapat mengelak dari-Nya.

Ibrahim menghadapi dua buah pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan “menyelamatkan” Ismail, atau mentaati perintah Allah dengan mengorbankannya. Ia harus memilih salah satu di antara keduanya. “Cinta” dan “kebenaran” berperang di dalam batinnya. Untuk memecahkan persoalan ini, Ibrahim mendialogkan dengan anaknya: “Wahai anakku aku bermimpi semalam bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” Sang anak yang saleh menjawab “Wahai ayahku, jika memang itu perintah Tuhanmu, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan menjumpaiku termasuk orang yang sabar (Qs. 37:102).

Dengan berat hati Ibrahim menimbang-nimbang, barulah ia yakin dan tipu daya setan yang memperdayakan tidak dapat menghancurkan keteguhan hatinya untuk menyembelih Ismail. Maka diajak putranya ke lembah Mina untuk melaksanakan perintah Allah. Dibaringkannya Ismail seperti layaknya seekor hewan yang hendak dipotong. Ketika pisau Ibrahim menyentuh leher Ismail, segeralah Allah berseru:

“Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

 “Wahai Ibrahim engkau telah mentaati perintah-Ku, karena ketaatannmu aku ganti Ismail dengan seekor domba. Dan apa yang kuperintahkan adalah semata ujian yang berat bagimu, dan engkau termasuk orang yang muhsin (Qs.37:104-107). Inilah kisah Ibrahim dan putranya Ismail yang kemudian menjadi tradisi bagi kaum muslimin untuk menyembelih seekor domba (Qs.37:108):

 “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,”

Makna Intrinsik
Kurban –yang secara harfiah berarti mendekatkan– dimaksudkan mendekatkan diri pada Tuhan dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara. Ibadah kurban –papar Jalaludin Rakhmat (1996)- mencerminkan pesan Islam: Anda mendekatkan saudara-saudara Anda yang kekurangan. Dengan berkurban berarti kita dekat dengan mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda disuruh berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila puasa mengajak Anda merasakan lapar seperti orang miskin. Maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti Anda.

Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna, pertama, makna sosial. Untuk membangun makna ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadisnya: “…wa man lahu sa’atun, falam yudlahhi, falâ yaqrabanna mushallânâ, Barang siapa yang memiliki kesempatan rezeki untuk berkurban, kemudian ia tidak melakukannya, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” Dengan ini, Nabi ingin mendidik umatnya agar memiliki kepekaan terhadap sesamanya. Dengan berkurban berarti kita telah menumbuhkan solidaritas sosial.

Rasulullah mengajarkan kita untuk memiliki jiwa sosial. Dan hal ini telah dicontohkan sendiri oleh beliau, yaitu setiap hari raya Idul Adha beliau membeli dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, berbulu putih bersih, bagus fisiknya dan tidak cacat. Kemudian setelah salat dan khutbah beliau menyembelih seekor seraya berkata “…hâzâ min muhammadin wa âli muhammadin, Ya Allah terimalah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad. Lalu Nabi menyembelih seekor lagi dengan berkata: “…hâzâ min ummati muhammadin, Ya Allah terimalah ini dari umat Muhammad.” Rasulullah telah meyembelihkan seekor domba bagi umat Islam yang tidak mampu berkurban. Beginilah model Rasullullah memberikan suri tauladan bagi umatnya, yaitu agar memiliki Islam sosial bukan Islam individual.

Makna yang kedua, makna esensial, bahwa apa yang dikurbankan tidak boleh manusia tetapi sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak mengenal hukum dan norma apapun (Shihab:1997: 415).

Sesungguhnya Ismail yang dikurbankan oleh ayahnya, kata Ali Syariati, hanya simbol dari setiap sesuatu yang melemahkan imanmu, setiap sesuatu yang menghalangi “perjalananmu”, setiap sesuatu yang membuat engkau memikirkan kepentinganmu sendiri, setiap sesuatu yang membuat engkau tidak dapat mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran, setiap sesuatu yang memaksa engkau untuk “melarikan diri”, setiap sesuatu yang membutakan matamu dan telingamu. Ismail hanya simbol dari seorang manusia, benda, pangkat, realita, kedudukan dan “kelemahan dirimu” (1997:101-2). Semua sifat dan kelemahan inilah yang harus dikorbankan, yang harus disembelih dan ditiadakan.

Ismail hanya simbol dari istrimu, pekerjaanmu, keahlianmu, kepuasan nafsu seksualmu, kekuasaanmu, dan lain sebagainya. Ismail hanya simbol dari setiap sesuatu yang merampas kekebasanmu dan menghalangimu, setiap sesuatu yang membuat engkau tidak dapat mendengar dan mengetahui kebenaran, setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindari tanggung jawab; setiap orang yang mendukung engkau untuk memperoleh dukunganmu di kemudian hari (op.cit.,h.120-1). Sifat-sifat demikian inilah yang harus dibunuh, ditiadakan, disembelih, dan dijadikan korban demi mencapai kurban (kedekatan) diri kepada Allah swt. Itu sebabnya Allah mengingatkan: “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai Allah; tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya (Qs.22:37):

 “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Keterangan:
Tulisan ini dimuat di Sinar Harapan, Senin, 9 Januari 2006 dengan judul “Makna Intrinsik Berkurban”.