Tuesday 27 September 2011

Jihad dan Bom Bunuh Diri

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Islam  Radikal akan terus eksis sepanjang pemahaman agama yang kaku dan dogmatis masih dominan di tengah umat Islam. Islam Radikal akan tetap menjadi ancaman sosial dan keamanan serius selagi tafsir terhadap bom bunuh diri masih dianggap syahid yang imbalannya surga.

Kasus pelaku bom di Indonesia adalah bukti yang sangat kuat akan ideologi Islam Radikal, yaitu bahwa bom bunuh diri adalah jihad yang imbalannya surga. Para pelaku teror bom selalu menyatakan berjihad karena ingin masuk surga. Namun, bisakah dikatakan pelaku bom bunuh diri di Indonesia sedang berjihad, dan jika mati dikategorikan sebagai syahid?

Jihad
Jihad adalah perang bersenjata di jalan Allah untuk melawan orang-orang kafir (al-Syarbînî/II :770). Berangkat dari definisi ini, pertama, jihad dapat dilaksanakan jika ada musuh yang harus dilawan dan ditaklukkan. Kedua, jihad mengandaikan ada 2 wilayah dalam keadaan perang terus-menerus, yaitu antara wilayah Islam (dâr al-Islâm) dan wilayah musuh (dâr al-harb). Ketiga, jihad menuntut pengorbanan jiwa-raga.  Makna jihad seperti ini hanya terjadi pada masa Nabi saw. dan imperium Islam. Jihad saat itu menjadi alat strategi ekspansi politik, sosial dan agama. Jihad bertujuan menaklukkan dan mengislamkan dunia, serta menerapkan hukum Islam di dalamnya.

Pada masa kini, konsep jihad seperti di atas sama sekali tidak kontekstual, apalagi di Indonesia, sebab: pertama, Indonesia adalah wilayah kesatuan utuh, merdeka dan aman serta tidak terlibat perang dengan negara mana pun yang dapat dikategorikan sebagai musuh. Kedua, di Indonesia tidak ada wilayah Islam dan non-Islam, karena pembagian provinsi di Indonesia tidak berdasarkan agama.

Ketiga, berjihad di Indonesia saat ini bukan dengan jiwa, tapi dengan harta. Di saat rakyat Indonesia sulit seperti sekarang, maka dibutuhkan orang yang mau berjihad dengan harta untuk membantu kaum fakir-miskin. Alquran menempatkan mereka yang berjihad dengan harta lebih tinggi ketimbang berjihad dengan jiwa (QS.61:11).

Keempat, makna hadis Nabi saw. «Berjihadlah terhadap orang-orang kafir dengan dirimu, hartamu dan lisanmu.» ialah bahwa berjihad dengan diri tidak berarti menumpahkan darah dan menjadi syahid. Tetapi jihad dengan diri berarti mensucikan dan membersihkan jiwa (al-Syarbâsî/III:337). Dan mempersenjatai jiwa, bukan dengan pedang, tapi dengan perbuatan yang baik, bermanfaat, ilmu pengetahuan, keimanan dan keyakinan yang tulus.

Oleh karena itu, jihad di Indonesia bukan membawa senjata dan masuk ke dalam medan pertempuran, apalagi membom orang-orang yang tak bersalah. Jihad yang sesungguhnya ialah berjuang menegakkan kebenaran untuk menciptakan masyarakat dan negara yang demokratis, adil, sejahtera, manusiawi dan tidak korup.

Syahid dan Surga
Jihad berkait erat dengan syahid. Di dalam Islam, syahid adalah orang yang memberikan kesaksian atas keimanannya dengan cara berjihad, terlibat dalam kekerasan. Syahid, dalam istilah hukum Islam, berarti saksi. Kesaksian ini yang menghubungkan dengan perang suci. Jika dia mati dalam berjuang (jihad), maka dia menjadi saksi (syahid) (Delcambre&Bosshard (et.alii);2004:72-4). Mengapa orang beriman berharap mati menjadi syahid?.

Alquran memberikan ganjaran yang luar biasa bagi para syahid. Mereka menjual kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat yang penuh dengan kenikmatan sebagai imbalannya (QS.4:74). Allah berjanji akan menghapus semua dosa syahid dan bisa langsung masuk surga tanpa perhitungan (QS.3:195). Menurut hadis Nabi, dia akan diberi 70 bidadari surga. Imbalan ini menarik orang mukmin untuk mati, sebab, menurut mereka, surga hanya dapat ‘dibeli’ oleh pengorbanan jiwa-raga (syahid). Islam pun menjadi agama yang menjanjikan kenikmatan ragawi setelah kematian.

Orang mati syahid dengan mengharapkan kenikmatan ragawi seperti itu, tak ubahnya seperti pedagang. Imam Ali Ibn Abi Thalib berkata “ibadah pedagang adalah orang yang beribadah karena mengharapkan surga.” Pada titik ini, tak ada nilai seorang syahid. Dia mati hanya untuk ambisinya: keselamatan dan kenikmatan individual. Tetapi dia telah meninggalkan penderitaan luar biasa bagi orang hidup.

Syahid, menurut Umar Ibn Khattab, adalah orang yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya dan hanya dengan-Nya ia merasa cukup (al-syahîd man ihtasaba nafsahu ‘ala Allâhi) (al-Zarqânî Syarh al-Muwattha’/III:48). Orang yang mensucikan niat untuk hidup hanya untuk Allah, dialah syahid yang sesungguhnya. Orang yang mati dalam keadaan melaksanakan shalat, puasa, haji, membaca Alquran, dibunuh oleh pemerintahan yang zalim dan tiranik, mati karena penyakit yang diderita atau ibu yang meninggal karena melahirkan anaknya adalah para syahid.

Jika demikian, jamaah haji Indonesia yang meninggal di Saudi Arabi adalah para syahid. Para aktivis mahasiswa yang mati diculik, korban tragedi 13-14 Mei 1997, Semanggi I dan II 1998, korban tragedi Tanjung Priok 1984, Haur Koneng Cirebon, Warsidi Lampung, korban 30 September 1965 dan semua korban kekerasan negara adalah para syahid. Korban pemboman Hotel Marriot, Kuningan dan Bom Bali I dan II adalah para syahid. Mereka yang mati berjuang demi tegaknya HAM dan demokrasi di Indonesia adalah para syahid; karenanya Marsinah dan Munir adalah syahid.

Bom Bunuh Diri
Lalu apakah pelaku bom bunuh diri itu syahid? Mereka yang melakukan bom bunuh diri bukanlah syahid, sebab menghancurkan diri sendiri diharamkan Allah swt. (QS.2:195). Menumpahkan darah dengan cara membom adalah cara yang tidak benar. Jangankan membom, menakut-nakuti orang lain saja hukumnya haram (HR. Thabrani dan al-Bazzâr). Pembom menganggap halal membunuh orang tak bersalah. Padahal, membunuh satu orang saja tanpa alasan maka seakan-akan orang itu telah membunuh manusia seluruhnya (QS.5:32).

Oleh karena itu, sangat mengherankan ada orang atau kelompok yang beragama Islam dan berbicara atas nama Islam, lalu menyatakan ingin mati syahid, tapi justeru mereka membunuh orang lain. Jika demikian, mereka telah mengotori Islam dengan kejahatan yang mereka lakukan. Mereka merusak wajah Islam dengan kemungkaran. Sang pengebom, walaupun berniat syahid, telah sesat dan salah jalan. Wallahu a’lam

Friday 16 September 2011

Menyuburkan Qanaah, Menumbuhkan Sifat Pemaaf.

Khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. di KJRI Marseille

Oleh: Ayang Utriza NWAY

Allahu akbar, Allahu akbar, wa liLlahi hil hamd,
Bapak, Ibu, Saudara/i yang berbahagia dalam keadaan fitrahnya.

Setelah satu bulan penuh kita menjalankan puasa Ramadan, Alhamdulillah, pada hari ini kita memasuki Idul Fitri 1 Syawwal. Semua umat Islam di dunia merayakan hari raya yang agung ini dengan penuh suka cita. Kita bergembira, karena pada hari ini kita kembali suci (idul fitri) seperti bayi yang baru terlahir dari rahim kedua orang tua kita. Allah telah mengampuni dosa kita semua, jika kita benar-benar menjalankan puasa yang baru saja kita lalui, sebagaimana sabda Rasulullah saw. man sâma ramadâna îmânan wahtisâban gufira lahu ma taqaddama min zanbihi (Barang siapa yang berpuasa dengan keimanan dan muhasabah/introspeksi diri, maka dosa-dosa yang lalu diampuni). Keadaan suci tanpa dosa itu terus bertahan pada diri kita pada 11 bulan ke depan, jika kita dapat menjaga kesucian tersebut.

Qanaah: Merasa Cukup
Salah satu cara menjaga kesucian itu adalah dengan menjaga sifat qanaah (merasa cukup) dalam kehidupan kita. Qanaah (merasa cukup) adalah salah satu sifat yang terdapat di dalam kata TAQWA yang menjadi tujuan dari puasa Ramadan tersebut.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah/2 :183)

Kata TAQWA di ujung ayat tersebut terdiri dari huruf Ta, Qaf, Waw, dan Ya. Dari setiap huruf ini memiliki makna. Ta berarti tawaduk (rendah hati), Qaf berarti qana’ah (merasa cukup), Waw berarti wara’ (menjaga diri dari sesuatu yang haram), dan Ya berarti yakin (keyakinan kepada Allah swt. akan rahmat, hidayat, inayah dan taufiknya). Dengan latihan selama berpuasa Ramadan selama sebulan penuh, maka benih sifat qanaah sudah tertanam dalam diri kita yang selanjutnya harus kita jaga. Qanaah merupakan salah satu akhlak yang ingin dicapai oleh puasa Ramadan.

Allahu akbar, Allahu akbar, wa liLlahi hil hamd,
Bapak, Ibu, Saudara/i yang sedang memperindah jalan kehidupan.

Qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tiada. Qanaah adalah kepuasaan jiwa terhadap rezeki yang diberikan. Qanaah adalah meninggalkan keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan kepada apa yang dimiliki[1]. Rasulullah saw. bersabda: al-Qanâ’ah kanzun la tafnâ (Qanaah, yaitu menerima pemberian Allah, adalah harta yang tidak pernah sirna) (HR. Thabrani dari Jabir).

Dengan sifat qanaah (merasa cukup) dapat membentuk pribadi-pribadi yang mempesona, yaitu mereka yang dapat berpuasa dari pola hidup konsumtif dan pola pikir materialis. Puasa Ramadan yang kita lakukan seharusnya menjadi jalan pengindah bagi hidup ini melalui sifat qanaah tersebut, yaitu sifat merasa cukup. Tetapi, anehnya, seminggu menjelang hari raya Idul Fitri, umat Islam berbondong-bondong ke pusat-pusat perbelanjaan. Umat Islam sibuk mempersiapkan dirinya dengan baju baru dan makanan-minuman untuk hari raya. Karena itu, pengeluaran selama bulan Ramadan lebih meningkat daripada bulan-bulan yang lain, terlebih menjelang hari raya. Bukankah ini sifat yang bertentangan dengan qanaah (merasa cukup) yang merupakan salah satu tujuan akhlak yang ingin dicapai oleh puasa?

Jika sudah demikian, di manakah arti puasa yang kita jalankan selama sebulan penuh? Jangan-jangan kita termasuk golongan yang disabdakan oleh Rasulullah saw. kam min sâ’imin laysa lahu min siyâmihi ila al-jû’ wa al-‘atsy (berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapat apa-apa, kecuali haus dan lapar). Gegap gempita puasa yang ada di mana-mana dari masjid hingga televisi, dari kota hingga desa, hanya menjadi kesalehan sesaat, jika tidak berbekas setelah bulan Ramadan. Oleh karena itu, sebelas bulan mendatang hingga Ramadan yang akan datang menjadi batu ujian bagi kita : apakah sifat qanaah (merasa cukup) benar-benar membekas di dalam hati kita atau tidak.

Sikap merasa cukup ini sangat penting di masa sekarang. Sebab, kehidupan materialistis selalu mendorong kita semakin jauh dari Allah. Kehidupan masa kini menciptakan kita menjadi pribadi-pribadi konsumtif yang siap membeli apa saja yang diiklankan di televisi dan koran. Kita menjadi terasing. Kita tak lagi mandiri menentukan pilihan dan mengatur hidup ini. Kita diatur oleh ruh zaman yang ditandai dengan pola pikir yang serba kebendaan (materialistis) dan serba kesenangan yang menjadi tujuan hidup (hedonis). Sifat dan sikap seperti ini akan mengantarkan kita menjadi orang-orang yang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Ambillah satu contoh. Kalau kita bekerja sebagai PNS dengan gaji yang menurut ukuran kita tidak cukup atau pas-pasan, ya jangan dipaksakan hidup dengan gaya orang kaya. Syukurilah dengan pendapatan yang ada. Coba perhatikan sekeliling kita, betapa banyak orang yang tidak bekerja dan kurang beruntung dibandingkan dengan kita. Kalau mau mendapatkan penghasilan tambahan, carilah dengan cara apapun yang halal dan baik. Bukan sebaliknya, karena dorongan lingkungan sekitarnya dan melihat gaya hidup orang-orang dengan penghasilan tinggi, akhirnya mengambil yang bukan haknya.

Jika bekerja sebagai pegawai swasta dengan posisi apapun atau wiraswasta dengan usaha apapun, kalau mengerjakannya hanya untuk meraih laba dan keuntungan dengan cara apapun dan karena terdorong oleh zaman, maka jalan pintas sering dilakukan walaupun haram dengan jalan menyogok agar urusan cepat dna mudah misalnya. Sebenarnya, bukan untung yang diperoleh, petaka yang didapat. Alih-alih ingin mendapatkan keuntungan, sebenarnya kita sudah ikut menanam benih berbuat korupsi secara berjemaah. Jadi, ketamakan jiwa untuk memperoleh harta dengan cara apapun tanpa mengindahkan norma dan etika keagaman adalah akibat dari tidak adanya sifat qanaah di dalam diri kita.
Allahu akbar, Allahu akbar, wa liLlahi hil hamd,
Bapak, Ibu, Saudara/i yang berada dalam kebeningan rasa

Tanpa sifat qanaah, kita akan merasa gelisah dan sedih karena mata selalu mengejar apa yang dimiliki orang lain. Betapa sempitnya pikiran kita, betapa pengapnya hati kita, jika kesuksesan orang lain, jika kekayaan orang lain selalu dilihat dengan mata iri dan dengki. Hati tidak akan pernah tenteram dan tenang, jika kita menginginkan apa yang orang lain miliki. Akibatnya timbul sifat rakus. Dengan kerakusan, kita akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Jika sudah demikia, maka kita sedang membuat neraka di dunia. Kita telah membuat neraka perasaan bagi diri sendiri kita.

Semoga dengan qanaah ini, kita menjadi lebih baik, lebih bersih hatinya, dan lebih bersih dari kemunafikan. Puasa yang benar harus menghasilkan ketenangan dan keteguhan. Hal ini hanya dapat diraih dengan menjaga sifat qanaah di dalam hati kita. Kalaulah qanaah menjadi sikap dan cermin hidup setiap kita, maka akan tercipta Indonesia yang damai dan ramah, jauh dari KKN. Marilah kita mulai dari diri kita sendiri, di mulai dari sekarang dengan menanamkan sifat qanaah. Dengan qanaah, hati menjadi tenang. Qanaah mendidik kita memiliki jiwa yang tenang (nafs al-muthma’innah). Karena, salah satu karunia Allah yang maha besar adalah ketenangan hati. Jika jiwa sudah tenang, surga adalah imbalannya: bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. 

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku (QS.al-Fajr/89:27-30).

Allahu akbar, Allahu akbar, wa liLlahi hil hamd,
Bapak, Ibu, Saudara/i yang berada dalam berkat dan kasih Allah.

Memaafkan
Sifat lain yang harus menghiasi diri kita yang tengah merayakan kesucian kita adalah sifat pemaaf. Memaafkan orang lain yang telah berbuat salah kepada kita, sebagaimana firman Allah swt. 

« …hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada… » QS. al-Nûr/24 :22

Memaafkan itu memang berat sekali. Bagaimana tidak, setelah hati kita tersakiti oleh perkataan atau perbuatan orang tersebut, kemudian kita diminta untuk memaafkan, tentu kita sulit sekali melupakan perbuatannya dan sulit memaafkannya. Ini bukan suatu hal yang mudah. Butuh tenaga untuk memaafkan kesalahan orang yang telah menyakiti hati kita. Tetapi, justeru, dengan memaafkan kita menjadi manusia bebas, manusia yang tak terbelenggu dengan perasaan marah terus menerus.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak memaafkan , niscaya tidak akan mendatangi telagaku di akhirat“ (HR. Al-Hakim). Nabi saw. juga bersabda “Barangsiapa yang tidak mau memberi ampun kepada orang, maka ia tidak akan di beri ampun“ (HR Ahmad dari Jabir bin Abdullah ra).

Orang pemaaf adalah salah satu ciri orang bertakwa. Dan takwa ini adalah tujuan dari puasa seperti dinyatakan di dalam QS. al-Baqarah/2:183. Allah memberikan pahala yang luar biasa besarnya bagi sang pemaaf berupa surga seluas langit dan bumi, sebagaimana firman Allah swt. :

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui (QS. Alu ‘Imrân/3:133-135)

Sang pemaah adalah akhlak termulia sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. kepada Uqbah: “Wahai Uqbah, maukah engkau kuberitahukan tentang akhlak penghuni dunia akhirat yang paling utama? “Apa itu wahai Rasulullah?. “Yaitu mereka yang menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang yang menahan pemberiannya kepadamu, memaafkan orang-orang yang pernah menganiayamu“ (HR. Al-Hakim dari Uqbah bin Amir Al-Juhani).

Bapak, Ibu, Saudara/i yang saling memuliakan,

Coba bayangkan kalau kemarahan menjadi sifat kita, kemarahan dipupuk di dalam hati kita, maka kita akan mudah tersinggung oleh hal-hal yang sepele. Hanya orang yang rendah yang mengurusi hal-hal remeh-temeh. Hanya orang kecil yang diperkecil oleh masalah-masalah kecil. Alangkahnya sempit dunia ini dengan hati pemarah. Semakin tinggi kemarahan kita, semakin rendah kualitas pemaaf kita. Semakin besar kualitas pemaaf kita, maka semakin tinggi kesabaran kita. Marah bergaris lurus dengan dendam, seperti sabar bergaris lurus dengan maaf.

Orang yang marah itu hidupnya tidak tenang. Hati pemarah dipenuhi dengan dendam dan pikiran-pikiran kotor dan jahat. Sekali tersinggung, maka tiada kata maaf. Hati belum puas rasanya hingga ia melihat orang yang dibencinya itu menjumpai marabahaya. Otaknya berfikir keras bagaimana menjatuhkan teman kantornya, tetangga rumahnya, atau saudaranya. Di kantor, misalnya, sebenarnya kita ingin buang air kecil, tetapi akhirnya harus ditahan, karena ada orang yang kita benci. Di rumah, kita harusnya jalan lewat jalan yang terdekat, tetapi milih jalan yang memutar dan jauh, hanya karena ada tetangga yang kita benci. Aduh, alangkah tersiksanya, hati yang penuh dengan marah dan dendam. Alangkah beratnya harus membawa-bawa marah dan menggendong dendam ke mana-mana.

Sebaliknya, hati pemaaf itu nikmat sekali. Hatinya akan terus lapang, karena tidak ada kemarahan yang tersisa dan tersimpan di dalam hatinya. Orang pemaaf itu adalah manusia yang bebas sesungguhnya. Tidak ada ganjalan di dalam hati. Orang pemaaf itu jiwanya ringan dan tidak ada beban. Orang yang suka memaafkan itu akan mudah dimaafkan orang. Rasulullah bersabda Barangsiapa memaafkan, saat dia mampu membalas, maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan“ (HR Ath-Thabrani). Memaafkan itu juga menyembuhkan diri kita.   

Rasulullah bersabda “Jika hari kiamat tiba, terdengarlah suara panggilan, “Manakah orang-orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya?” Datanglah kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu. Telah menjadi hak setiap muslim untuk masuk surga, jika ia memaafkan kesalahan orang lain,.” (HR Adh-Dhahak dari ibnu Abbas ra.)

الله أكبر بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم. ونفعنى وإيّاكم بتلاوته إنه هو الذكر الحكيم. فاستغفروا الله يغفرلكم إنّه هو البر الرحيم.


[1] Imam Qusyairi, Risalatul Qusyairiyyah, Surabaya : Penerbit Ilmu, hlm. 174-5.

Friday 2 September 2011

Takwa Pribadi dan Publik di Bulan Syawwal

Oleh: Ayang Utriza NWAY   
...
Bulan Ramadan baru saja berlalu dari kita. Puasa yang telah kita jalani harus meninggalkan nilai yang berharga di dalam diri kita dan menjadi pedoman dan pegangan hidup. Nilai itu bernama takwa yang tak lain adalah tujuan akhir dari puasa, la’allakum tattaqûn. Takwa yang bersemayam di dalam hati kita inilah yang menyinari dan membimbing kita selama 11 bulan yang akan datang. Di bulan Syawwal ini, takwa itu selayaknya terus meningkat sebab syawwal secara bahasa berarti peningkatan. Takwa yang meningkat di dalam diri kita, setelah menjalani 1 bulan ramadan, harus terjabarkan dalam konteks kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat.

Dalam konteks kehidupan pribadi, takwa adalah mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah lahir dan batin, merasakan kebesaran Allah, kewibawaan Allah, takut kepada Allah, dan cemas kepada Allah. Takwa berasal dari kata waqâ artinya menahan, mana’a. Jadi, takwa mana’a nafsahu min syahwatihi, berarti menahan semua nafsu syahwatnya, antara lain nafsu makan. Takwa menyuruh kita memperhatikan apa yang kita makan. Jangan kita makan sembarang makanan. Jangan makan dari uang yang berasal harta haram hasil dari tipu-tipu dan korupsi. Jangan jadikan perut kita kuburan orang-orang miskin. Jangan biarkan dahaga kita meraup keuntungan dengan cara menyengsarakan rakyat. Kekang keinginan kita menindas orang lain. Takwa mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan apa yang kita makan dan dari mana muasal uang yang kita belanjakan itu. Hasan al-Bashri menggambarkan seorang yang memiliki ketakwaan yang sebenar-benarnya adalah, antara lain: semakin berkuasa, semakin bijak dan tidak mengambil yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain.

Rasulullah bersabda ketika selesai melakukan tawaf, waktu Futuh Makkah (penaklukkan kota Mekkah), “Ya ayyuhan nâsi innaman nâsu rajulâni: mu’minun taqiyyun karîmun ‘ala Allahi, wa fâjirun syaqiyyun hayyinun ‘ala Allahi.” Wahai manusia ada 2 golongan manusia: mukmin, bertakwa, dan mulia di sisi Allah dan pendosa, susah, dan hina di hadapan Allah (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud). Semoga kita termasuk kategori pertama, sehingga kehidupan kita bermanfaat untuk isteri, anak, keluarga, dan negara kita.

Takwa, yang merupakan tujuan dari puasa ini, juga berkait erat dengan pengejawantahannya dalam konteks kehidupan masyarakat. Takwa dalam konteks kehidupan publik adalah menerima keragaman Indonesia dan berlomba dalam mencapai kebaikan demi tegaknya marwah negara dan bangsa. Indonesia merupakan negeri dengan puluhan ribu pulau, ratusan bahasa dan dialek, ratusan suku, puluhan agama lokal, 6 agama yang diakui. Keanekaragaman ini adalah anugerah Allah swt. yang diberikan kepada penduduk negeri zamrud khatulistiwa. Harus disadari bahwa perbedaan yang luar biasa ini adalah suatu yang alamiah, Allah swt. berfirman:

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurât/49 :13).


Berdasarkan ayat di atas, kita akan menjadi manusia seutuhnya jika bisa berhubungan antarmanusia dengan latar belakang yang berbeda itu. Kita diperintahkan untuk saling mengenal (lita’ârafû) sesama manusia tanpa melihat SARA (suku, agama, dan ras). Dengan perbedaan itu, Allah menegaskan bahwa yang paling mulia, di antara kalian, adalah yang paling bertakwa. Takwa dalam konteks publik berarti orang yang mampu menunjukkan kualitas kebaikan yang maksimal bagi kesejahteraan orang banyak. Semakin bermanfaat orang tersebut bagi kebanyakan orang, berarti semakin tinggi nilai takwa yang dimilikinya. Karena, manusia yang terbaik adalah manusia yang paling berguna untuk manusia, sabda Rasulullah saw. (khayrun nâsi anfa’uhum linnâsi). 

Kerjasama antarumat manusia tanpa melihat latar belakang agama, etnisitas dan kelompok adalah tujuan yang dianjurkan dalam Islam, agar setiap individu ataupun kelompok saling berlomba dalam kebajikan untuk membangun dunia yang lebih ramah, untuk membangun Indonesia yang lebih maju, seperti firman Allah di dalam:

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah/2:148.

Dengan demikian, keragaman Indonesia harus menjadi faktor pemersatu untuk kemajuan ketimbang faktor pemecahbelah. Dengan takwa, kita berlomba-lomba berbuat yang terbaik bagi kehidupan bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Dengan ketakwaan yang tercermin dalam diri kita dan dalam kehidupan publik, maka rasa persaudaraan antarumat Islam seharusnya semakin kuat. Oleh karena bangsa Indonesia ini adalah mayoritas umat Islam, dengan demikian jika kuat umat Islam, maka kuatlah bangsa Indonesia. Jika jaya umat Islam, jayalah bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dalam membangun negara dan bangsa ini. Sejarah Indonesia adalah sejarah umat Islam. Dengan demikian, sumber perpecahan umat Islam harus segera dihentikan. Sebab, jika tidak, hal tersebut akan membuat negara kita terus dalam, dalam bahasa Prancis, cul-de-sac politique et impasse économique, kemacetan politik dan kebuntuan ekonomi.
Sumber perpecahan umat Islam berasal dari orang-orang bermental khawarij. Siapakah khawarij ini? Khawarij adalah mereka yang berpegang teguh pada teks-teks formal Alquran, mereka rajin menjalankan ibadah ritual mereka, tetapi kaku dalam ibadah sosial, dan mereka rajin ibadah, tetapi tega mengkafirkan orang lain sesama muslim bahkan membunuhnya, karena beda pendapat. Sudahlah cukup apa yang terjadi di tahun-tahun yang telah berlalu, ke depan kita yakinkan bahwa kita semua adalah bersaudara, jika bersaudara tidak ada lagi rasa untuk saling menyakiti, karena Allah swt. berfirman:

Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Dengan bekal takwa dari Ramadan yang baru kita jalani, maka kita tegakkan persatuan Islam yang merupakan salah satu resep untuk kemajuan Islam, menurut Jamaluddin al-Afghani. Maju Islam di Indonesia, dalam arti penduduknya terdidik dengan baik, memiliki pekerjaan yang baik, ketimpangan sosial semakin kecil, maka dengan sendirinya bangsa Indonesia akan maju.  Persaudaraan antarumat Islam dan antara sesama anak bangsa akan gagal jika: tidak ada iktikad baik kedua belah pihak dan kepentingan politik didahulukan ketimbang kepentingan agama.

Pada akhirnya, semoga di bulan Syawwal ini, ketakwaan yang menjadi tujuan dari puasa meningkat dalam diri kita, sehingga kualitas ibadah diri dapat meningkat yang berdampak pada kualitas keluarga dan masyarakat kita. Dengan demikian, pesan moral dari puasa benar-benar telah tercapai. Sebagai penutup, ada cerita dari yang menarik: suatu ketika Rasulullah dilaporkan bahwa ada seorang perempuan yang selalu puasa di siang hari dan salat tahajud ketika malam (tashûmu nahâran wa tushallî layaliyan), tapi ia sering menyakiti hati tetangganya (walâkin tu’zî jâraha). Rasul mengatakan bahwa tempat perempuan itu di neraka (hiya fi al-nâri). Puasa tidak mempunyai arti apapun bagi perempuan itu, karena ia tidak menangkap pesan moral ibadah puasa. Jangan sampai puasa yang baru kita jalani tidak memiliki arti apa-apa, seperti perempuan itu.